Urgensi Amar Ma’ruf dan Kemuliaan Bagi Orang yang Melakukannya

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ     

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS: Ali Imran – 104).

Ayat di atas merupakan ayat yang membahas seruan Allah SWT kepada para hambanya untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Melihat adanya syariat yang menyerukan perihal ini, sebenarnya apakah amar ma’ruf merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh setiap orang?

Mengkaji lebih dalam mengenai ayat di atas, Kata منكم  pada ayat tersebut berarti “sebagian dari hamba Allah”, bukan mencakup “setiap manusia yang menjadi hamba Allah”. Sebab dalam melakukan amar ma’ruf dibutuhkan suatu ilmu dan pemahaman terhadap apa yang diperintahkan. Maka, mengenai hal ini, orang-orang yang memiliki pemahaman lebih terhadap sesuatu diharapkan mampu memahamkan orang lain.

Seperti pangandikan mbah Ali Maksum dalam kitab Ahlussunnah Wal Jamaah:

إِذَا ظَهَرَ الْفَسَادَ عَلَى أُمَّةٍ وَ سُبَّ عَلَى أَصْحَابِى فَلْيُظْهِرِ الْعَالِمُ عِلْمَهُ. فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَالِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَا ئِكَةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ.

“Apabila sudah merajalela kefasadan di muka bumi, maka wajib bagi orang alim untuk menampakkan ilmunya. Apabila tidak mau berbuat, maka baginya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.”

Meskipun begitu, Keharusan amar ma’ruf tetap dinilai sebagai sesuatu yang bersifat fardhu ain, atau wajib bagi setiap individu seperti halnya wajib menasehati sesuatu yang tidak dibenarkan. Sekalipun akan mendapat respon yang kurang baik, itu akan lebih baik daripada kita sebagai golongan yang harus banyak dinasehati. Maka, di sinilah letak kemuliaan orang yang melakukan amar ma’ruf.

Namun terlepas dari pemaparan di atas, keharusan amar ma’ruf sendiri dapat menjadi fardhu kifayah sebab dua hal yaitu:

  1. امكنة (keadaan), contoh: melarang seseorang mabuk atau menghentikan tawuran itu tidak perlu dilakukan apabila dikhawatirkan mereka akan menyakiti diri kita. Seperti (ketika ada orang mabuk, maka jangan dinasehati dulu, daripada nanti kita dilempar batu).
  2. زمان (waktu), contoh: berusaha membubarkan perkumpulan judi di malam hari yang dikhawatirkan memicu keributan dan mengganggu ketenangan orang lain.

Adanya dua keadaan tersebut dapat menjadi alasan keharusan amar ma’ruf menjadi fardhu kifayah, atau cukup dilakukan oleh satu orang saja yang memiliki kuasa atau kewenangan serta kemampuan untuk mewakilkan kita. Sehingga kewajiban atau fardhu ain kita untuk melakukan amar ma’ruf dapat dikatakan gugur. Sebab, sesuatu memang masih bergantung pada sebuah kepantasan, seperti halnya pertanyaan kenapa menyerukan kebaikan ini disebut dengan istilah  amar ma’ruf, bukan amar hasanah atau amar fadhilah, yang kalau dipikir-pikir memiliki arti yang pantas untuk menyerukan kebaikan. Sebab pemilihan diksi amar ma’ruf ini berkaitan dengan ma’ruf itu sendiri yang berarti ‘baik tapi pantas’. Seperti dalam sebuah contoh yang diberikan Kiai Nilzam, “nyeneni bocah sing nyeyel, terus digundul kui wajar pantes. Tapi nek sing salah kui wong tuwa, mosok yo arep digundul?” (kalau ada anak kecil yang ngeyel terus digundul itu wajar dan pantas, tapi kalau yang salah orang tua, masa ya mau digundul?). Maka ketika berbicara amar ma’ruf juga berarti berbicara mengenai kepantasan.

Dinukil dari pengajian KH Nilzam Yahya | Kitab Risalah Fii al Amr bil Ma’ruf | 19 Maret 2023

Pewarta: Attaya Grandiv & Clara Satrianti | Editor: Adam | Foto: Mustarih Amar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *