KRAPYAK.org – Pada malam puncak peringatan Haul K.H. Ali Maksum ke-35, turut hadir KH. Moch. Za’im Ahmad Ma’shoem atau sering disapa Gus Zaim dari Pondok Pesantren Kauman Lasem Rembang yang pada kesempatan kali ini menyampaikan mauizah kepada para jama’ah dan masyarakat yang ikut serta dalam majelis yang dimeriahkan oleh grup hadroh Az-Zahir ini.
Dalam mauizah-nya, beliau menyampaikan pembahasan mengenai hakikat peringatan haul yang tidak hanya sekedar untuk mengirim do’a, namun juga sebagai media tabarruk dan mengetahui kiprah seseorang yang sedang diperingati hari kematiannya karena di setiap peringatan haul akan selalu diceritakan kehidupan orang tersebut.
Ada tiga hal yang disampaikan oleh keponakan K.H. Ali Maksum ini, yaitu mengenai kisah kedekatan Kiai Ali dengan para santri, sikap beliau yang toleran dan moderat, serta kiprah di masyarakat.
Kedekatan K.H. Ali Maksum dengan santri ditunjukkan dengan sapaan “Pak” yang digunakan santri untuk memanggil beliau. Selain itu, kedekatan beliau juga ditunjukkan dengan keikutsertaan beliau dalam kegiatan ro’an pondok bersama santri.
Kemudian, beliau juga menyampaikan kisah Kiai Ali yang sowan kepada AR. Fachruddin (Ketua Umum Muhammadiyah tahun 1968-1990) pada menjelang hari raya yang tidak disebutkan tahunnya untuk menjadi Imam Shalat ‘Ied di Masjid al-Munawwir, sementara Kiai Ali di alun-alun. Hal ini bertujuan untuk meredam konflik antara Muhammadiyah dan NU.
Gus Za’im melihat bahwa penyelesaian seperti kisah di atas tidak lepas dari tempat lahirnya Kiai Ali, yaitu di Lasem. Sebuah kecamatan di Rembang yang dijuluki “Tiongkok Kecil” ini memang memiliki warga keturunan Tionghoa cukup banyak. Dahulu tempat tersebut merupakan kota awal pendaratan orang-orang Tiongkok di tanah Jawa.
Selain itu, Lasem juga dikenal sebutan “Kota Santri” tak lain karena banyaknya pondok pesantren. Tempat yang heterogen seperti itu merupakan tempat Kiai Ali memahami segala perbedaan dan bagaimana cara penyikapannya. Sehingga, Gus Za’im yakin, “apa yang dilakukan oleh Kiai Ali Maksum di Jogja, di tengah-tengah komunitas yang berbeda paham pun menjadi tidak masalah. Di Jogja yang plural dan heterogen pun tidak masalah.” Ungkapnya.
“Bahkan, saya menganggap Kiai Ali sebagai tokoh toleransi dan moderasi.” Tambahnya.
Di penghujung mauizah, beliau juga berpesan agar jangan bersikap “Kemiyayi dan kemustad”, ini merupakan istilah yang beliau pakai untuk menggambarkan sikap bangga diri atas status mu’allim yang dimiliki oleh seseorang. Sikap seperti itu hanya akan menimbulkan superioritas pada diri sendiri yang berujung pada kegemaran menghakimi orang lain.
Pewarta: Ajmala Azka | Foto: Mustarih Amar