(07/04) Berbeda dengan hukum taklifi, hukum wadh’i tidak langsung dibebankan kepada mukallaf. Mukallaf adalah orang Islam yang baligh dan berakal (mampu untuk berpikir dan bertanggungjawab). Penerapan hukum yang termasuk hukum wadh’i bergantung pada ketentuan-ketentuan tertentu. Hukum wadh’i terbagi menjadi 5, yaitu : sebab, syarat, mani’, shohih, dan batal.
Pertama, sebab. Sebab adalah yang dijadikan oleh Allah sebagai ketentuan untuk melakukan sesuatu. Contohnya adalah (kewajiban) wudlu sebab hendak mendirikan sholat dan sholat sebab telah masuk waktu sholat. Apabila sebab tidak ada, maka hukum sebagai akibat pun tidak ada. Kedua, syarat yang menjadi sesuatu yang hukum digantungkan kepadanya. Adanya hukum bergantung pada adanya syarat. Sebagai contoh, syarat haji yaitu orang yang memiliki kemampuan.
Ketiga, mani’ atau penghalang. Mani’ diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan tidak adanya hukum. Contohnya adalah tidak ada sholat Jumat sebab Covid-19. Kewajiban sholat jumat menjadi gugur karena menghindari penyebaran Covid-19 dengan memberlakukan physical distancing. Contoh yang lebih sering dikemukakan adalah terhalangnya orang yang membunuh untuk mendapat warisan.
Keempat, shohih. Suatu ibadah yang dianggap shohih/sah adalah apabila terpenuhi syarat dan rukunnya sesuai dengan syariat. Dalam hal muamalah (hubungan antarmanusia) maka selain harus memenuhi ketentuan syariat, juga harus sesuai dengan akad pula. Jika suatu ibadah sudah dianggap sah, maka gugurlah kewajiban untuk menunaikannya dan sepatutnya tidak diminta untuk mengulangi atau melakukan kembali. Sedikit berbeda dengan ibadah, muamalah yang sah artinya berlaku pengaruh-pengaruh yang disepakati dalam akad. Misalnya dalam jual beli, jika sesuai akad, maka pembeli berhak mendapat barang setelah memberi uang kepada penjual.
Kelima, batal yang merupakan kebalikan dari shohih. Batal bersinonim dengan fasid, diartikan sebagai sesuatu yang kurang atau tiada syarat-syarat yang menjadikanya sah. Contohnya adalah sholat namun menggunakan pakaian yang terkena najis. Maka sholatnya tersebut dihukumi sebagai batal. Dalam hal batal terdapat dua pengecualian. Pengecualian yang pertama yaitu terhadap barang yang ada namun dianggap tidak ada, seperti orang tayamum, meskipun ada air sebab orang tersebut sakit ataupun memiliki udzur lainnya. Selanjutnya yaitu untuk sesuatu yang tidak ada namun dianggap ada. Hal ini berlaku terhadap kasus diyat atau denda pembunuhan. Kasus yang terjadi adalah orang yang dikenai diyat meninggal sebelum diyat tersebut lunas. Maka pihak keluarga harus membayar diyat sebelum harta dari yang meninggalkan dibagi sesuai hak waris. Tiadanya orang yang seharusnya membayar diyat tidak menyebabkan diyatnya menjadi tiada. (Yasmeen)
(*Pengajian Bandongan Kitab Shofwatuz Zubad oleh KH. Hilmy Muhammad. Selama masa karantina dikarenakan adanya Virus Covid-19, Pondok Pesantren Krapyak melangsungkan pengajian kitab yang diisi oleh para pengasuh. Pengajian ini bisa diikuti via daring melalui live streaming media ‘Yayasan Ali Maksum’ dan materi ngaji yang ditulis oleh tim para santri pada website ini. Sehingga santri yang pulang, tetap bisa mengikuti kegiatan mengaji dari rumah masing-masing.)