KRAPYAK.org – Prof. Robert W. Hefner, seorang profesor dari Departemen Antropologi dan Pardee School of Global Affairs dari Universitas Boston, menjadi salah satu dari empat pembicara dalam rangkaian acara Konferensi Besar dan Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama yang digelar pada hari Senin, 29 Januari 2024 di Halaman Masjid Al-Munawwir Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.
Dalam topik yang beliau sampaikan mengenai kepemimpinan moral pada titik kritis fikih peradaban NU untuk persamaan hak dan melawan politik identitas sebagai senjata politik, profesor Hefner menyebutkan bahwa NU memegang sebuah peranan penting dalam keberlanjutan pencapaian demokrasi negara Indonesia. Para pemimpin Nahdlatul Ulama mendedikasikan diri mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang bukan Islam ekslusif melainkan negara agama yang memberikan perhatian terhadap masyarakat multiagama Indonesia secara keseluruhan berdasarkan prinsip ketuhanan dan inklusifitas pancasila. Bahkan, pada awal 1926, KH Asy’ari menerbitkan sebuah dokumen yang menyatakan dengan jelas dukungan organisasi beliau terhadap prinsip-prinsip nasionalisme, inklusif dan multiagama.
Meskipun komitmen Indonesia terhadap toleransi beragama sempat ‘diuji’ dengan adanya persaingan pemilu pada tahun 1950, perkembangan ini tidak berhenti dan mencapai puncaknya pada kepemimpinan ketua tanfidziyah tahun 1984 oleh KH Abdurrahman Wahid, yang kerap dikenal dengan sapaan Gus Dur.
Profesor Hefner menyatakan bahwa salah satu dari sekian banyak prestasi Gus Dur adalah usulan reformasi formulasi etika dan fikih yang sejalan dengan demokrasi toleransi antar umat beragama. Usulan tersebut diadopsi pada Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Lampung pada tahun 1982. Dibawah bimbingan beliau dan KH Ahmad Shidiq, dirumuskan 3 konsep persaudaraan yakni persaudaraan sesama umat muslim (Ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sesama umat bangsa (Ukhuwah Wathaniyah), dan persaudaraan sesama umat manusia (Ukhuwah Insaniyah/ Ukhuwah Basyariyah). Nilai-nilai ini kemudain dikembangkan hingga saat ini.
“Hambatan utama terhadap demokrasi kewarganegaran inklusif adalah apa yang digambarkan oleh KH Yahya Cholil sebagai ciri-ciri atau elemen hukum fikih yang perlu dire-kontekstualisasikan..” tegas Profesor Hefner. Beliau menjabarkan bahwa tanpa adanya reformasi fikih tersebut, upaya dunia Islam dalam merumuskan praktik kewarganegaraan yang demokratis dan inklusif sepenuhnya akan tetap rentan terhadap tantangan dari kelompok islamis sektarian, yang memanfaatkan politik identitas untuk mengingkari tujuan-tujuan syari’at Islam yang merupakan inti dari Maqosid as-Syari’ah.
Dengan latar belakang inilah pemimpin NU dan para pemudanya (Ansor) meluncurkan kembali upaya reformasi fikih pada dasawarsa 80-an. Upaya ini berpusat pada reformulasi fikih berdasarkan prinsip-prinsip egaliter dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dari konferensi 300 ulama yang diadakan di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, Jawa Timur pada 22 Mei 2017, pimpinan Ansor menyiapkan sebuah pernyataan yang lebih sistematis terkait reformasi fikih yang dikenal sebagai Deklarasi Gerakan Pemuda Ansor untuk humaniterian Islam. Dokumen ini didukung dengan sebuah diagnosis yang tidak kalah luar biasa yakni Manifesto Nusantara setebal 40 halaman yang dibuat dalam Global Unity Forum II yang diselenggarakan oleh Ansor di Yogyakarta pada Oktober 1918.
Dalam konferensi internasional tersebut telah disepakati beberapa hal yang meliputi kesepakatan bahwa tidak ada hukum kategori kafir dalam negara modern dan negara modern itu sah secara teologi. Selain itu, umat muslim harus mematuhi dimanapun hukum negara bangsa modern serta berkewajiban untuk mendorong kedamaian bukan mengorbankan perang atas sesama pemeluk agama.
“NU telah menunjukkan jalan orang-orang dengan tradisi agama dan peradaban yang lain untuk menghadapi tantangan hidup bersama-sama di zaman kita dengan belas kasih dan persaudaraan manusia dari pada dengan pendekatan supremacy exclusive.”
Pewarta: Marwah | Foto: Mustarih Amar