KH. Ali Maksum dan Metode Sorogan

Proses pembelajaran pesantren klasik memiliki dua metode yang sangat kuat mengakar dalam keseharian kehidupan kiai dan santri di pesantren, yakni transfer ilmu secara sorogan dan bandongan. Metode ini sedikit banyak memiliki kesamaan dengan proses mulazamah yang sudah dikenal sejak zaman nabi.

Bandongan adalah proses pembelajaran dengan cara ustadz atau kiai membacakan kitab dengan menterjemahkan ke dalam bahasa jawa di depan kelas dan kemudian memberikan penjelasan mengenai isi kandungan kitab tersebut. Metode bandongan banyak diterapkan hampir di seluruh pondok pesantren, karena metode tersebut sangatlah efektif menjangkau banyak santri dalam sekali pengajian.

Sementara metode selanjutnya adalah sorogan, dimana pada metode ini setiap santri membacakan isi kitab beserta terjemahannya dan menjelasakan isi kitab secara langsung dihadapan kiai. Metode ini dianggap sangat positif karena di dalamnya terjadi proses interaksi dan diskusi secara langsung antara santri dan kiai. Namun seiring berkembangnya zaman yang juga diiringi dengan perkembangan pondok pesantren yang sangat luar biasa, dimana kini pondok pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan yang semakin diminati di masyarakat. Hal tersebut berdampak pada peningkatan kuantitas santri di berbagai pondok pesantren, maka metode sorogan secara langsung oleh kiai mulai ditinggalkan karena dinilai kurang efektif menjangkau keseluruhan santri dan membutuhkan waktu yang lebih banyak.

Berbeda dengan pesantren pada umumnya, dimana metode sorogaan secara langsung oleh kiai mulai ditinggalkan, di Pondok Pesantren Krapyak justru metode tersebut menjadi program unggulan. Salah satu metode yang dipertahankan dari era KH. Ali Maksum, karena pada metode ini diharapkan setiap santri bukan hanya dapat membaca ataupun memberi terjemahan kitab namun juga mampu memahami isi dari kitab tersebut. Dalam metode sorogan santri juga mendapat penjelasan tambahan lebih lanjut melalui proses presentasi dan diskusi secara langsung antara santri dan kiai. Walaupun disamping kelemahannya yaitu tidak efektif dan membutuhkan lebih banyak waktu, metode sorogan dapat memangkas jarak antara kiai dan santri karena adanya interaksi secara langsung.

Terbukti metode dua arah ini memiliki kesan tersendiri bagi masing-masing santri, karena beberapa alumni Pondok Pesantren Krapyak yang sempat mengalami dan mengikuti metode sorogan pada masa kepemimpinan KH. Ali Maksum didapatkan banyak kenangan dan cerita menarik. Salah satunya pada waktu sorogan ba’da subuh pada masa KH. Ali Maksum, ada salah satu santri baru yang sama sekali belum pernah membaca kitab dan memahami bahasa arab. Karena dikenal sebagai salah satu sosok yang sangat demokratis, beliau memberi kebebasan kepada santrinya tentang kitab apa yang akan dibaca dan dipresentasikan. Pada saat sorogan santri baru tersebut tidak membaca kitab, namun membaca pancasila lengkap dengan isinya. Menanggapi hal tersebut KH. Ali Maksum justru tertawa, karena memang beliah terkenal dekat dengan santrinya dan humoris. Maka dari itu, sorogan dikenal sebagai salah satu sarana menambah mahabbah santri kepada kiai.

Bahkan hingga saat ini di Pondok Pesantren Krapyak metode sorogan masih terus eksis, dimana saat ini salah satunya diampu langsung oleh KH. Afif Muhammad yang merupakan cucu dari KH. Ali Maksum. Berdasarkan pengalaman beliau yang dahulu juga pernah sorogan secara langsung pada KH. Ali Maksum, KH. Afif Muhammad mempertahankan metode sorogan dengan membebaskan kitab yang akan dikaji.

“Saat ini sudah tidak banyak pesantren yang masih menerapkan metode sorogan”, ungkap KH. Afif Muhammad. Beliau juga berpendapat bahwa kolaborasi dua metode klasikal yakni bandongan dan sorogan bisa meningkatkan kualitas pemahaman santri, juga tetap relevan dengan kondisi masa kini dimana santri bukan hanya dituntut bisa membaca kitab saja namun juga memahami dan berani menyampaikan isinya. Disamping kelemahan metode ini yakni sangat menyita waktu, namun disela-sela kesibukannya KH. Afif Muhammad tetap mempertahankan sorogan ba’da subuh. Bahkan beliau bertekad selama saya masih menjadi pengasuh, metode sorogan akan tetap dipertahankan.

Penulis: Irsyadul Ibad/Inam Jawazi (Santri komplek mahasiswa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *