KRAPYAK.org – Fashalli li rabbika wanhar, ayat yang sering kita baca tersebut menurut pendapat ashahh dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji merupakan perintah untuk berkurban dalam rangkaian perayaan Idul Adha atau Idul Akbar. Di antara dua hari raya kita, dalam tradisi Islam, hari raya Idul Adha inilah yang dianggap lebih besar daripada hari raya Idul Fitri yang dikenal juga dengan hari raya Idul Ashghar.
Memang, bagi kita masyarakat muslim Indonesia, perayaan dan euforia hari raya Idul Fitri lebih besar daripada Idul Adha, seperti budaya mudik, bersih-bersih rumah, silaturrahim ke sanak kerabat yang tidak kita dapati dalam Idul Adha. Oleh karenanya, bisa dimaklumi ketika kita sering kebingungan saat mendengar ungkapan yang menyatakan kalau Idul Fitri itu merupakan Idul Ashghar. Namun tidak semua masyarakat muslim Indonesia seperti ini, sebagian masyarakat kita ada yang merayakan Idul Adha lebih meriah daripada Idul Fitri, seperti muslim Madura, yang dalam hal ini menunjukkan ajaran para kiai Madura yang memposisikan Idul Adha ini sesuai istilah asalnya.
Berbeda dengan umumnya masyarakat muslim di dunia, seperti di Pakistan, Amerika Serikat dan lain-lain, yang perayaan hari raya Idul Adha lebih besar daripada Idul Fitri. Sebenarnya, kebesaran Idul Adha bisa dipahami karena hari raya Idul Adha tidak hanya sehari, melainkan diperpanjang hingga tiga hari setelahnya, juga bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji bagi muslim yang mendapat panggilan ke Baitullah. Syiar dalam Idul Adha juga lebih besar, yang dalam hal ini bisa dibuktikan dengan anjuran untuk bertakbir setelah sholat fardhu hingga selesai sholat ashar tanggal 13 Dzulhijjah.
Sebagaimana yang sering kita dengar dari khatib dan penceramah, bahwa penyembelihan kurban dalam hari raya ini mengadopsi dari kisah Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya, yang menunjukkan bahwa beliau benar-benar nabi pilihan Allah, meski pada akhirnya diganti oleh Allah dengan seekor kambing. Pilihan kurban dengan kambing ini juga mirip dengan kisah kurban Habil, putra Nabi Adam, yang diterima Allah, alih-alih menerima kurban Qabil yang berupa buah-buahan.
Salah satu sisi positif dalam penyembelihan kurban ini adalah pengalaman kita dalam mengelola daging. Berkat pensyariatan kurban ini, kita yang bukan profesi peternak, penjual daging, dan jagal, akhirnya mempunyai kesempatan untuk belajar cara menyembelih, nguliti, ngiris, memilah-milah daging, hingga cara menyalakan api menggunakan arang untuk nyate. Dengan ini pula, kita bisa mensyukuri daging yang sehari-hari kita makan, karena kita tahu betapa ribetnya pengelolaan daging ini.
Hikmah lain dalam kurban ini di antaranya adalah sebagi forum silaturrahim antar tetangga yang saling bergotong-royong dalam pelaksanaan ritual ini. Berbeda dengan sedekah, zakat, dan kafarat yang mustahiq-nya adalah orang fakir dan miskin, pembagian daging kurban ini dibagi rata pada semua umat muslim, baik yang kaya maupun miskin. Lebih lanjut, salah satu hikmah dilarangnya puasa pada hari raya ini beserta hari-hari tasyriknya adalah agar kita berbahagia dalam menikmati hidangan kurban ini.
Namun, ekspresi kebahagiaan atas kurban ini tidak mengajarkan kita untuk bersikap tamak dalam memperoleh daging. Fenomena perebutan daging yang sering kita temui di media sosial sebenarnya adalah kesalahan kita sendiri yang terlalu tamak. Padahal, kiai-kiai kita telah mengajarkan kita, ketika ada kemungkinan tidak memperoleh daging, agar kita menyembelih daging sendiri meskipun seekor ayam, atau kita membeli daging sendiri di pasar supaya kita tidak tamak sambil ikut berbahagia dengan hari raya ini.
Dalam konteks kita sebagai warga Negara Indonesia yang multikultural, ditemukan permasalahan umum yang sering ditanyakan masyarakat tentang kebolehan membagikan daging kurban kepada warga non-muslim. Padahal, di beberapa tempat, seperti tempat KKN saya dulu, warga non-muslim pun ikut serta dalam membantu pengelolaan daging kurban sebagai bentuk solidaritas sosial antar tetangga.
Terdapat dua jawaban atas permasalahan ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa kurban hanya boleh diberikan kepada sesama muslim secara mutlak, karena kurban adalah jamuan Allah pada umat muslim. Sementara pendapat kedua menyatakan kebolehan membagi daging kepada non-muslim. Demikian adalah keterangan al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj (Beirut, Dar al-Fikr, 1984, juz VIII, hlm 141):
وَخَرَجَ بِمَا مَرَّ مَا لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا، وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ، إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ
Dari sini, bisa dipahami bahwa ulama berbeda pendapat atas permasalahan ini. Sebagian ulama melarangnya, sementara ada pendapat lain yang membolehkannya. Sebagai kehati-hatian, kita bisa tetap memegang pendapat yang melarang tapi dengan sedikit hilah, yakni dengan cara memberikan jatah warga non-muslim tadi pada panitia kurban yang terpercaya, kemudian biarkan panitia tersebut menyedekahkannya jatahnya pada warga non-muslim. Cara inilah yang biasanya digunakan panitia sebagai solusi dan meminimalisir konflik bermasyarakat.
Terakhir, saya teringat anekdot tentang kurban dari obrolan antara Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Sholeh Tsani Gresik. Ketika beliau berdua masih mondok, Kiai Kholil lebih mendalami ilmu nahwu, sementara Kiai Sholeh lebih menekuni ilmu fiqh. Kiai Kholil nggojlok Kiai Sholeh ketika sedang mutholaah fiqh, “Buat apa sampean belajar kitab fiqh, toh di Indonesia tidak akan ada orang kurban unta!” Kiai Sholeh membalas, “Buat apa sampean juga susah-susah belajar nahwu, toh kitab kuning akan banyak yang diterjemah ke dalam bahasa kita!”
Selamat berkurban, selamat merayakan Idul Akbar, selamat menikmati daging, selamat perbaikan gizi, dan siap-siap mbelenger makan daging.
Penulis: Agil Muhammad | Editor: Adam | Foto: Mustarih Amar