KRAPYAK.org – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf turut menghadiri acara rangkaian Haul Almaghfurlah KH Ali Maksum ke-36 pada majelis Temu Alumni yang bertajuk Mengenang Mbah Ali dalam Perjuangan NU, Sabtu (9/11).
Gus Yahya, sapaan akrab KH Yahya Cholil Staquf, menyampaikan bahwa beliau datang bukan sebagai Ketua Umum PBNU melainkan sebagai santri dan alumni Pondok Pesantren Krapyak. Beliau bercerita bahwa dulu, ketika awal mondok di Krapyak, beliau seringkali ditimbali (dipanggil) oleh Mbah Ali untuk memijatnya. Namun seketika sudah datang dan berhadapan, Mbah Ali tidak menyuruh apapun dan tidak berkata apapun. Bahkan, bisa sampai satu hingga dua jam Gus Yahya hanya termenung.
Awal mula diutus memang untuk memijat, namun Mbah Ali tidak terasa. Sampai diinjak-injak pun masih tidak terasa karena waktu itu beliau masih kecil. Setelahnya, sebelum memanggil santri yang biasa memijat Mbah Ali, Karyono, beliau berpesan kepada Gus Yahya, “Kowe wajib parek karo aku, mergo aku mbien parek karo mbahmu, ‘birul walidain’ iku koe kudu parek karo wong sing parek marang wong tuamu senajan wong tuamu wes ra ono.” (Kamu wajib dekat dengan saya, karena saya dulu dekat dengan kakekmu, birul walidain itu kamu harus dekat dengan orang yang dekat dengan orang tuamu meskipun orang tuamu sudah tidak ada).
Kemudian Gus Yahya juga mengatakan bahwa Mbah Ali selain hafal dengan nama santri-santrinya, beliau juga hafal hingga latar belakang santrinya. Ada suatu kisah, sepupu Gus Yahya ingin mondok di Krapyak lalu sowan ke Mbah Ali. Lalu Mbah Ali bertanya,
“Siapa namamu?”
“Sirot.”
“Bapakmu namanya siapa?”
“Mujab.”
“Rumahmu di mana?”
“Pamotan, Rembang.”
Setelahnya, dengan daerah Krapyak yang cukup luas ini, Sirot, kurang lebih hingga tiga bulan tidak pernah berpapasan ataupun bertemu Mbah Ali secara langsung. Di suatu waktu, ketika hendak mandi, ia kemudian berpapasan dengan Mbah Ali dan beliau seketika masih ingat bahwa ia bernama Sirot putra dari Pak Mujab. Padahal bertemu langsung baru satu kali saat sowan dan bertemu kembali beberapa bulan kemudian.
Selanjutnya, beliau menceritakan tentang keramatnya Krapyak, yang dimulai dari Mbah Munawwir, Mbah Said Sepuh yang mengupayakan wakaf dan seterusnya yang menempati semuanya adalah keramat. Tidak hanya keramat, namun juga visioner seperti Mbah Ali Maksum, putra dari Mbah Ma’shoem Lasem, yang dari umur belasan tahun sudah diizinkan mengajar di masjid di Pondok Pesantren Tremas. Selain Mbah Ali, ada Mbah Dimyati Termas yang juga mengajar di masjid.
Setelah menikah dengan Mbah Nyai Hasyimah Munawwir, KH R. Abdullah Affandi nembung ke Lasem untuk meminta Mbah Ali diboyong ke Krapyak. Jika dipikir-pikir kenapa kok Mbah Ma’shoem membolehkan dan kalau itu di masa sekarang, ada kiai yang memiliki anak yang pintar pasti eman, lebih baik membesarkan pondoknya sendiri. Namun, Mbah Ma’shoem tidak.
Setinggalnya di Krapyak, saat sedang duduk di depan rumah, ada beberapa anak kecil, sekitar umur 5 sampai 6 tahunan yang sedang berlarian dan bermain-main lalu dipanggil oleh Mbah Ali dan dikasih jajan kemudian beliau mengatakan, “Sesuk, koe tak wulang yo” (Besok kalian saya ajar ya). Di antara anak-anak itu ialah KH Warsun Munawwir dan KH Zainal Abidin Munawwir.
Dari sekian santri-santri yang turut menuntut ilmu dengan Mbah Ali, dapat dilihat hasilnya, bahwa pada kurun waktu 1970an hingga 2000an mayoritas pemimpin NU di semua tingkatan diisi oleh santri-santrinya Mbah Ali Maksum. “Niku kulo pun mangguli dewe. Ketemu neng kono kene. Generasine Lek Mus (KH Musthofa Bisri) ngantek generasine Mas Masdar (KH Masdar Farid Mas’udi)” ucap Gus Yahya.
Pada pungkasannya Gus Yahya berpesan kepada para hadirin, “Bahwa kita semua itu hidup berlandaskan barokah, keramatnya kiai-kiai kita semua. Krapyak merupakan tempat belajar yang saya yakin sudah mengandung aura keramat yang ngahanani santri-santrinya.”