Gelar Diskusi Rutin, Santri-Mahasiswa Pondok Krapyak Bincangkan Kiprah Kyai dan Santri Benteng NKRI

www.krapyak.org. Forum Komunikasi Santri Mahasiswa Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum kembali mengadakan diskusi rutin. Pada kesempatan mendekati peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, diskusi bulan ini berlangsung pada hari Ahad, 12 Agustus dengan mengangkat tema “Membedah Kiprah Kyai dan Santri Sebagai Benteng NKRI” menghadirkan dua narasumber, yaitu KH. Abdul Muhaimin (Pendiri dan pengasuh PP. Nurul Ummahat Kotagede) dan KH. Dr. Hilmy Muhammad, MA (Pengasuh Pondok PesantrenKrapyak Yayasan Ali Maksum). Diskusi dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

“Saya sering diundang di acara nasional atau internasional, namun jujur saya merasa lebih bangga ketika diundang menjadi tamu acara di Krapyak. Saya melihat bangunan pesantren ini rasanya de javu pada masa-masa saya nyantri dulu”- tutur KH. Abdul Muhaimin sebagai Alumni Pondok Pesantren Krapyak.

Menurutnya, di pesantren ada tiga proses yang sangat simultan, disitu ada: transfer knowledge, melalui pengajaran dan pengajian, transfer value, dari kyai kepada santri, transfer spirituality, setiap harinya diajak berdoa dan mujahadah yang jarang dilakukan diluar pesantren. Gembelengan-gemblengan itulah mengantarkan santri memiliki karakter yang lebih solid dan juga humanis. Santri selalu memiliki kapasitas untuk menghadapi dinamika dan romantika fenomena kehidupan meskipun dalam kondisi yang sangat anomali.

Terkait peran santri dan kyai dalam nasionalsime, Kyai Muhaimin menuturkan bahwa secara historis, Indonesia tidak akan merdeka tanpa peran kyai dan santri. Beliau memberikan otokritik dan muhasabah melihat fenomena ini:

“ Saya yakin, 90% pelaku sejarah kemerdekaan Indonesia adalah para santri. peran kyai dan santri tidak bisa dinafikan, meskipun sejarah tidak menulisnya. Sejarah selalu dibuat oleh penguasa atau pemenang, dan kebetulan santri itu tidak begitu suka menulis sejarahnya sendiri, sehingga sejarah-sejarah ditulis untuk kepentingan orientalis maupun kepentingan politik. “Kesalahan” kita sebagai pesantren kurang peduli dengan persoalan-persoalan sejarah perjuangan, akhirnya kita hanya punya cara pandang sejarah dengan rabun pendek.”

Sesi kedua dilanjutkan oleh pengantar dari KH. Dr. Hilmy Muhammad, MA, yang mempertajam apa yang dikemukakan oleh narasumber sebelumnya.

“Kita bisa melihat dengan jelas contohnya, pertama, kisah perjuangan pangeran diponegoro beliau seorang mursyid yang melakukan pemberontakan pada masanya. Kedua, kita bisa melihat peran santri dan kyai pada masa-masa awal kemerdekaan. Santri-santri yang sedang mengenyam pendidikan di timur tengah saat pulang ke tanah air ikut semangat dalam melawan penjajah dikarenakan mereka di sana juga belajar dengan para pelajar dari negara-negara yang terjajah, sehingga memberi kesadaran kepada santri untuk turut serta dalam pergerakan, baik pergerakan yang bersifat fisik maupun perundingan-perundingan dalam bentuk organisasi kemasyarakatan. Peran kyai dan santri sangat luar biasa, seperti dalam sejarah BPUPKI (seperti: Kyai Masykur, Kyai Wahid Hasyim) PPKI dan ini adalah bentuk nyata dari sebagai benteng NKRI”

Santri Harus Lebih Berperan

Kyai Hilmy melanjutkan, dahulu pada masa awal kemerdekaan belum ada TNI, yang ada adalah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan laskar-laskar, seperti: laskar hizbullah yang dipelopori oleh para santri. Berlangsung sampai tahun 1948 hingga pada akhirnya militer-militer diputuskan oleh pemerintah harus mengenyam pendidikan formal, itu yang menyebabkan santri-santri berguguran pada masa itu sehingga sampai saat ini sangat jarang tentara yang berasal dari kaum santri, padahal yang menginiasi perlawanan pada masa penjajahan.

Dalam sesi tanya-jawab, beberapa santri mengemukakan peran santri yang harus diambil dalam kancah nasional, Kyai Hilmy dan Kyai Muhaimin menjelaskan bahwa sampai pada masa orde baru santri-santri tidak memiliki kesempatan dalam mengelola dan mengisi pembangunan bangsa. Namun santri saat ini kembali dapat berkiprah dalam pembangunan bangsa dan politik, dikarenakan pendidikan pesantren saat ini sudah disamakan dan juga ada pendidikan formal di dalamnya. Sehingga tidak heran apabila ada KH. Abdurrahman Wahid yang saat itu menduduki kursi presiden sebagai tokoh dari kalangan santri. ini adalah wujud citra pesantren dalam membentengi NKRI.
Terkait dengan Allah yarham simbah KH. Ali Maksum, diceritakan oleh KH. Hilmy Muhammad. Ketika pesantren lain tidak mau membuat madrasah pendidikan formal, tidak hanya sorogan dan bandongan, Mbah Ali termasuk kyai pelopor yang membuat madrasah sampai ditentang oleh kalangan dalam pondok pesantren krapyak sendiri pada tahun 80-an. Apalagi di kalangan pandangan pesantren-pesantren lain khususnya di Yogyakarta. Karena diharapkan agar para santri dapat berkiprah di tengah-tengah masyarakat melalui pendekatan-pendekat yang sifatnya formal, dan juga santri dapat berkesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Kita bisa melihat bahwa santri pada hari ini dapat menjadi pilot, jurnalis, entertainer dan macam-macam profesi lainnya. Dewasa ini kita dapat melihat seharusnya yang mengisi pembangunan negara ini adalah kita semua, para kyai dan santri. karena ini adalah hak kita, karena para pendahulu kita sudah memperjuangkan kemerdekaan maka seharusnya kita harus tetap melanjutkannya dengan mengisi pembangunan. Kita juga harus berani berperan dalam pemerintah, menjadi legistlatif, eksekutif, dan lain-lain. Ketika pelaku-pelaku politik adalah orang baik, maka pemerintahan juga akan berlangsung dengan baik.

Setiap bulan, forum Komunikasi Santri Mahasisiswa Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum secara kontinyu menyelenggarakan diskusi rutin dengan tema dan narasumber yang berbeda di setiap gelarannya. Diskusi Rutin dengan tajuk Membedah Kiprah Kyai dan Santri Sebagai Benteng NKRI” adalah gelaran diskusi yang diselenggarakan keempat kalinya. (Lulu)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *