Sosok Humanis Mbah Ali dalam Kenangan Putri Bungsunya

Allahuyarham Mbah Ali merupakan kiai yang memiliki kedekatan khas dengan santri-santrinya, tidak jarang setiap santri memiliki macam kenangan dan cerita tentang kedekatannya dengan Mbah Ali. “Setiap santri beliau saja memiliki cerita, merasa disayang dikinasihi Mbah Ali, apalagi di benak putra-putrinya. Pastinya luar biasa dan lebih dari itu”, kenang Ibu Nyai Ida Rufaida, putri bungsu Mbah Ali.

Di sela jam istirahat pada semaan Qur’an peringatan haul almaghfurlah KH. Ali Maksum ke-31, Ibu Nyai Ida Rufaida menceritakan kenangan-kenangan dengan ayahandanya. Dalam hal mengajar, Mbah Ali memiliki kekhasan yang belum tertandingi hingga sekarang. Karena keluasan wawasan keilmuan beliau, ibarat dalam menjelaskan sebaris materi saja penjelasannya sangat luas dan mencakup beberapa aspek. Dikisahkan, bahwa pada masa itu seluruh santri-santri Mbah Ali sebelum berangkat jamaah ke masjid sudah selalu meletakkan dan mengantrikan kitabnya hingga memenuhi gedung pengajian, karena saking sregep (rajin) dan senengnya ngaji dengan Mbah Ali.

Dalam keseharian beliau, seringkali ketika di rumah, Mbah Ali tidak secara sengaja menasehati putra-putrinya, namun perkataan maupun tindak laku beliau secara tidak sengaja pula menjadi contoh sekaligus menjadi filosofi hidup hingga sekarang. Sifat kesederhanaan dan rendah hati beliau selalu diterapkan dan dicontohkan kepada putra-putrinya.

Ada satu perkataan Mbah Ali yang masih diingat dan menjadi refleksi bagi kita semua, “Bahwa manusia itu sejatinya sama, untuk apa berlaku sombong wong hakikatnya manusia itu sama, seperti wc berjalan, jika dibuka kulitnya kan ada darahnya, nanahnya, kotorannya jadi gak pantes berbuat sombong, wong hanya Gusti Allah yang punya sifat Al-Mutakabbir”.

Di benak putra-putrinya, Mbah Ali dikenang sebagai seseorang yang sangat bijak dalam mengatur waktu dalam kesibukannya, dalam candaan beliau Allahu Yarham Mbah Ali pernah ngendikan, “Seandainya makan itu bisa dijamak pasti saya yang akan melakukanya”, hal tersebut diartikan bahwa kita terkadang direpotkan dengan dunia kecil kita, seperti dalam hal makanan. Padahal sejatinya kita makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.

Putra-putri Mbah Ali masing-masing memiliki kedekatan dengan beliau, seperti Ibu Nyai Ida Rufaida sendiri, yang merupakan salah satu putri yang paling sering nderekke (ikut) Mbah Ali mengisi pengajian maupun acara di luar kota. Setiap Mbah Ali selesai pengajian, Ibu Nyai Ida kecil selalu ditanya oleh beliau “Da, aku mau ngomong opo”? apa saja materi yang diceramahkan dalam pengajiannya, tentu saja hal tersebut menuntut Ibu Nyai Ida pada masa remajanya untuk memperhatikan materinya bahkan sampai hafal. Tidak disadari secara langsung, gaya ceramah maupun materi yang disampaikan Mbah Ali sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap gaya ceramah Bu Nyai Ida Rufaida hingga kini.

Di akhir masa hidupnya, yang paling dikenang oleh Ibu Nyai Ida adalah ketika Mbah Ali sebelum wafat, Allahuyarham Mbah Ali sudah mencatat pembagian waris secara mendetail, beliau juga memiliki inisiatif untuk mengumpulkan putra-putrinya, beliau ngendikan “Aku kepingin sesuk sanguku sing akih”. Ini artinya bahwa seseorang ketika akan berwasiat memiliki batas maksimal 1/3 dan 2/3 nya untuk ahli waris, namun Mbah Ali membalikkan dasar ini, yang artinya ahli waris Mbah Ali hanya mendapatkan 1/3 kemudian 2/3 diwakafkan untuk kemaslahatan umat. Hal itu menjadi boleh ketika ahli waris saling ridho. Dan terjadilah pembagian waris tidak melalui faroid tapi atas dasar keridhoan. Putra-putri beliau juga sangat menyadari betapa hebat dan luar biasa apa yang dilakukan Mbah Ali semasa hidup hingga jelang wafatnya yang tidak habis untuk diteladani.

(Eli Nadzifatuz Zulfa, Santri Komplek Hindun)