KRAPYAK.org – Dewasa ini, kita sering mendengar perkara yang sering disebut dengan istilah Bid’ah. Istilah yang sedikit tampak sensitif di berbagai kalangan ini memiliki definisi menurut Syeikh Zaruq dalam kitab “Uddatul Murid” yaitu memperbaharui perkara dalam agama yang menyerupai ajaran agama itu sendiri, padahal perkara tersebut bukan bagian dari agama. Baik bentuk maupun hakikatnya.
Melalui Kitab Risalah Ahlu Sunnah wal Jamaah karya KH Hasyim Asy’ari yang dikaji oleh mahasantri Pondok Pesantren Krapyak bersama KH Nilzam Yahya (11/03), Syeikh Zaruq turut membagi bid’ah menjadi 3 macam:
Bid’ah Shorihah
Yaitu setiap suatu amalan yang ditetapkan tanpa landasan syar’i baik dari aspek wajib, sunnah, mubah, dan lainnya. Dan hal ini bisa memadamkan sunnah dan membathilkan yang haq. Ini adalah seburuk-buruk bid’ah, walaupun misalnya disandarkan kepada seribu dalil ushul dan furu’, maka hal ini tidak menjadi pertimbangan sama sekali.
“Pada intinya, jenis dari bid’ah Shorihah ini adalah bid’ah yang benar-benar bid’ah.” Begitu keterangan tambahan yang disampaikan oleh KH Niilzam Yahya.
Bid’ah Idhofi
Bid’ah yang disandarkan pada praktik tertentu walaupun terbebas dari unsur bid’ah, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut tergolong sunnah atau bukan bid’ah.
Pada jenis bid’ah Idhofi, KH Nilzam Yahya turut memberikan contoh sandaran yang dimaksud, lain halnya dengan bid’ah shorihah yang mutlak, jenis bid’ah idhofi ini dihukumi sesuai dengan sandarannya. Apabila sandaran yang digunakan adalah hal baik maka ia akan tergolong baik, begitupun sebaliknya.
Perihal sandaran yang dimaksud, mudahnya kita pahami seperti halnya menyandarkan perbuatan menjamak sholat dengan sebab berpergian. Apabila tujuan dari berpergian tersebut adalah hal yang baik dan tidak tergolong maksiat maka menjamak sholat akan menjadi boleh. Namun, jika sebab berpergian adalah hal yang menjorok pada kemaksiatan, maka hukum menjamak sholat tidak lagi menjadi suatu kebolehan.
Bid’ah Khilafi
Bid’ah Khilafi merupakan bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Jika dilihat dari satu aspek tergolong bid’ah, tetapi dari aspek yang lain tergolong kelompok sunnah.
Dalam memahami jenis bid’ah yang ketiga ini, al-Alamah waliyudin al-Syabsyiri dalam “Syarah al-Arba’in al-Nawawi”, menjelaskan atas hadits Nabi SAW yang berarti:
Barang siapa menciptakan perkara baru (dalam agama) atau membantu orang lain menciptakan hal baru, maka dia mendapatkan laknat Allah. (HR. Bukhari)
Pandangan yang harus dipahami dari redaksi hadits di atas tidak boleh dilakukan secara leterlek. Sebab yang termasuk dalam kategori hadits di atas adalah akad fasid, berhukum kepada orang bodoh dan dzalim, dan setiap sesuatu yang tidak mencocoki syara’. Maka tidak termasuk dalam kategori di atas yaitu pembaharuan yang tidak keluar dari dalil syara’, sebagaimana masalah ijtihadiyah, di mana korelasinya dengan dalil syara’ adalah dzan.
Dinukil dari pengajian Ramadhan KH Nilzam Yahya | Kitab Risalah Ahli Sunnah Wal Jamaah
Pewarta: Clara Satrianti Sukma | Foto: Aldi Hardi