TRADISI JAMASAN KA’BAH DAN KECERDASAN LOKAL

Oleh: H. Afif Muhammad, MA *)

Hari ini di kota Makkah berlangsung tradisi tahunan jamasan Ka’bah. Tiga kali dalam setahun bahkan tradisi ritual berhubungan dengan penyucian Ka’bah ini dilakukan. Di bulan Rajab dan pertengahan Muharram berlangsung pencucian bagian dalam Ka’bah dan di Hari Arafah Bulan Dzul Hijjah penggantian Kiswah (baju selubung luar) Ka’bah. Tradisi ini telah berlangsung ribuan tahun. Al Qur’an mengabadikannya dalam bentuk perintah kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alaihimassalam :
وعهدنا إلى إبراهيم وإسماعيل أن طهرا بيتي للطائفين والعاكفين والركع السجود

Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa alihi wasallam juga bersama para sahabat meneruskan tradisi penyucian ini saat peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekkah) dengan terlebih dulu membersihkan Ka’bah dan Masjid dari patung-berhala. Sepeninggal Nabi, penduduk Mekkah utamanya, terus melakukan perawatan tradisi ini. Ka’bah kemudian diberi selubung dan wewangian. Para penguasa sepanjang zaman menandai kekuasaan dan perhatiannya kepada Baitullah dengan melakukan pemeliharaan, pencucian, penggantian Kiswah dan seterusnya. Hingga saat ini.

Perintah awalnya dalam Bahasa Arab menggunakan kata perintah thahhir(a), yang bermakna sucikan betul-betul atau banyak-banyaklah menyucikan. Pemaknaannya berarti, betul-betul dalam melaksanakan penyucian. Atau berarti sering melakukan penyucian, hingga betul-betul terjaga kesucian dan kehormatannya. Dalam Bahasa Arab, jamak atau banyak itu minimal tiga. Ada memang kelompok ulama yang menganggap aqallul jam’, banyak yang minimal itu dua. Karena itu proses penyucian Baitullah dilakukan dua kali. Bagi kebanyakan, yang menganggap jama’ adalah minimal tiga, bentuk penyuciannya yang ketiga adalah prosesi penggantian Kiswah sutera yang bertabur kaligrafi berbahan rajutan emas di saat orang berhaji berkumpul semua di Arafah. Yang kedua, rangkaian tradisi jamasan pusaka Islam ini juga mesti melibatkan banyak orang, terutama para ulama, tokoh masyarakat Mekkah.

Selebihnya, tidak ada informasi ketentuan khusus siapa pencucinya, dengan apa saja bahan ubarampe penyuciannya, kapan dan seberapa sering proses pencucian dilakukan. Kaedah dalam Syari’ah karenanya memberikan kelonggaran kepada tafsir praksis, kearifan lokal, adaptasi dan penggunaan ilmu dan teknologi untuk melaksanakannya.

Kenyataan penerapannya saat ini, penyucian dilakukan di Bulan Rajab dan bulan Muharram, bulan haram, yang dihormati dan dilipatgandakannya balasan kebaikan dan keburukan. Kekejian di bulan ini maknanya dilipatkan keburukannya, dibanding bulan yang lain. Pencucian interior Ka’bah dilakukan dengan membasuhi dinding dan lantai dengan air zamzam, melumurinya dengan wewangian minyak, serta mengasapinya dengan kemenyan. Pelaksanaannya pun sekarang dilakukan pemerintah kerajaan bersama takmir masjid, mengundang pula perwakilan negara muslim, walaupun belum terlihat (dan alangkah baiknya) melibatkan oleh ulama terkemuka, bangsawan dan tetua-tetua Makkah, yakni kalangan yang paling berhak melestarikan kehormatan tempat situs suci ini.

Bagi kaum muslimin di luar Makkah seperti kita di nusantara, tentu hal seperti ini wajar mengilhami adaptasi pelaksanaan hal yang serupa dengan pusaka Islam ini. Seperti di Bulan Muharram ini, selain di dalamnya berlangsung amalan Asyura, peringatan keprihatinan sejarah kelam yang melibatkan trah keluarga Nabi, berlangsung pula suasana keprihatinan dan introspeksi dengan tidak melakukan hal-hal yang bersifat suka cita dan hajatan-hajatan yang tidak selaras dengan makna Muharram. Meniru apa yang berlangsung di Mekah, di bulan Muharram berlangsung pula di nusantara kegiatan ritual doa dan bersih-bersih, seperti bersih-bersih masjid, kuburan, bersih desa, bersih-bersih (jamasan) pusaka dan lain sebagainya. Bukankah kekejian dan bunuh membunuh otomatis mereda ketika senjata pusaka dibersihkan?

*) Penulis adalah salah satu Pengasuh pada Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *