Seni dan Pesantren: Santri Sebagai Manifestasi Seni dari Sang Kiai

KRAPYAK.org – Sebanyak kurang lebih 150 peserta dari berbagai kalangan seperti mahasantri, akademisi, pegiat seni dan para kiai turut serta menghadiri Stadium Generale dengan tema “Mozaik Pesantren: Menyulam Inspirasi Maestro Seni Dalam Harmoni Transformasi Sosial” yang bertempat di Asrama Mahasiswa Sunan Komplek H, Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum pada Ahad, 23 Februari 2025.

Berbicara mengenai seni, jika merujuk ke salah satu pengertian seni yang diungkapkan oleh Susanne K. Langer adalah sebuah ekspresi yang diciptakan melalui indra dan pencitraan. Hal itu mengandung substansi bahwa perspektif seni bersifat subjektif dan bebas. Siapapun memiliki hak yang esensial dalam berekspresi untuk dituangkan melalui varietas seni seperti seni rupa, seni musik, seni teater maupun seni sastra. Guna merealisasikan tema yang diangkat pada Stadium Generale kali ini, Awwaluddin selaku Ketua Lesbumi PWNU DIY serta Pak Nasirun yang dikenal sebagai sosok seniman internasional membuat sebuah kolaborasi interaktif mengenai seni dan pesantren. Menurut pandangan Awwaluddin, seni dapat tumbuh secara progresif dalam dunia pesantren. Mengapa demikian? Pesantren sejatinya adalah sebuah gudang seni dengan kiai sebagai senimannya. Mahakarya yang dihasilkan dari proses pendidikan pesantren dan kiai adalah seorang santri yang cakap terhadap berbagai lini kehidupan. Seperti mengaji sebagai bentuk aktivitas transcendental kepada Tuhan melalui jalur keilmuan serta mengabdi dan bermasyarakat sebagai bentuk aktivitas sosial kemanusiaan. Jadi, tanpa perlu diulas lebih lanjut pesantren merupakan representasi dan wujud nyata dari salah satu produser seni di kehidupan ini.

Dalam perspektif lain, menurut Pak Nasirun selaku pegiat seni pada diskursus seni rupa memberikan pandangan lain mengenai seni dan pesantren. Pada konteks tradisi kepesantrenan, terdapat satu hal yang memiliki linieritas dengan dunia seni yaitu adalah sorogan. Seperti yang kita tahu, sorogan pesantren memiliki makna model pembelajaran antara siswa secara vertikal terhadap guru dengan hak otoritatif seorang guru dalam memberikan pengarahan dan pembelajarannya. Metode sorogan ini pada realitasnya terbukti telah memberikan model pembelajaran yang efektif pada tahap perkembangan intelektualitas seorang santri di pesantren. Pak Nasirun mengungkapkan perspektif yang berbeda mengenai konsep sorogan dalam seni, beliau mengatakan bahwa sorogan yang dilakukan oleh seorang seniman ialah dengan mengupayakan pelestarian karya ataupun legacy dari para seniman terdahulu. Seni memiliki dua hal yang bersifat probabilitas, yaitu ekspresi dan apresiasi. Menurut Pak Nasirun, apresiasi terhadap karya seni dan legacy seniman terdahulu merupakan alternatif untuk melakukan sorogan dalam bidang seni yang bertujuan untuk melahirkan sanad kabudayan. Sanad Kabudayan inilah yang nantinya menjadi alat validitas bagi seorang seniman dalam menciptakan karya seni.

“Maka dari itu, sudah seyogyanya pesantren menjadi vivarium katalisator dalam merawat dan meneruskan strategi dakwah para pendahulu (walisongo) melalui pendekatan seni dan budaya. Karena bagi kami para santri, seni adalah bahasa universal yang menyatukan, menginspirasi dan membawa perubahan,” ucap Faizal Basri selaku Lurah Komplek H.

Pewarta: Shevchenko | Foto: Aldi