Pendahuluan
Di tengah arus informasi yang deras, meningkatnya polarisasi sosial, dan meningkatnya narasi kebencian atas nama agama, penting untuk bertanya: adakah ruang pendidikan yang dapat membentuk individu religius dan toleran? Jawabannya adalah pesantren.
Pesantren bukan hanya institusi pendidikan Islam, tetapi juga ruang sosial yang hidup, tempat nilai-nilai keberagamaan moderat berkembang dan diwariskan antar generasi. Di pesantren, santri belajar mengenai Islam tidak hanya sebagai dogma, tetapi sebagai etika hidup yang menghargai perbedaan, mencintai kedamaian, dan menjunjung tinggi musyawarah. Hal ini menjadikan pesantren penting untuk dikaji dalam konteks tantangan zaman seperti intoleransi, radikalisme, dan krisis kohesi sosial.
Tantangan Zaman: Polarisasi, Radikalisme, dan Disintegrasi Sosial
Intoleransi dan radikalisme kini tidak terbatas pada ruang fisik. Dunia digital telah menjadi sarana baru untuk menyebarkan ide-ide ekstrem yang menargetkan kalangan muda, termasuk pelajar dan mahasiswa. Data Setara Institute (2023) menunjukkan bahwa intoleransi berbasis agama di kalangan pelajar meningkat dalam lima tahun terakhir, menjadi alarm bahwa pendidikan kita belum sepenuhnya melindungi peserta didik dari ideologi destruktif.
“Pada tahun 2023, SETARA Institute mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia.1 Angka peristiwa
ini naik signifikan dibandingkan dengan temuan pemantauan pada tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan. Dari 329 tindakan pelanggaran tersebut, 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara, dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.” (Setara Institute, n.d.-b)
Dalam konteks ini, pesantren muncul sebagai lembaga pendidikan dan benteng kebudayaan. Dengan tradisi yang kuat dan jejaring sosial yang solid, pesantren berpotensi besar dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Moderasi ini adalah strategi keberagamaan yang kontekstual, adil, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama, bukan kompromi ideologis.
Pesantren sebagai Arena Sosialisasi Nilai Moderat
Pesantren menciptakan ekosistem pendidikan yang khas: komunal, egaliter, dan berbasis adab. Sosialisasi terjadi tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga di masjid, kamar santri, dapur umum, bahkan di sawah. Di sinilah nilai seperti tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan) dialami dan diinternalisasi.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan bahwa “Islam tidak datang untuk menciptakan umat yang eksklusif, tetapi untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab.” Pemikiran ini mencerminkan ajaran pesantren yang melampaui identitas keagamaan dan membangun peradaban yang ramah terhadap perbedaan. Eksklusivisme sendiri merupakan suatu paham yang memiliki kecondongan atau kecenderungan kepada kelompok-kelompok maupun golongan-golongan lainnya. Eksklusivitas berbanding terbalik dengan inklusivitas, yaitu sikap memahami dan memberikan pengertian satu sama lain dalam sebuah perbedaan. (Al-quran Kitab Toleransi, n.d.)
Program Transformasional: Dari Tradisi ke Aksi Sosial
Laporan Wahid Foundation (2022) menunjukkan bahwa pesantren yang mengikuti program Santri Siaga Jiwa Bangsa dan Pesantren for Peace mengalami penurunan potensi konflik berbasis identitas. Ini menunjukkan bahwa ketika pesantren terlibat langsung dengan masyarakat, potensinya sebagai agen perdamaian sangat nyata.
Pesantren saat ini tidak bisa hanya berfokus pada kitab kuning. Ia harus berperan aktif dalam wacana kebangsaan, perubahan sosial, dan literasi digital. Pesantren yang menyatukan tradisi dengan inovasi dan agama dengan budaya akan menjadi lokomotif transformasi sosial. Oleh karena itu, penting untuk mereorientasi kurikulum pesantren agar sejalan dengan prinsip pendidikan kritis yang membebaskan dan memberdayakan.
Miniatur Masyarakat Ideal: Pesantren sebagai Model Kohesi Sosial
Pesantren adalah miniatur masyarakat plural. Para santri hidup berdampingan dengan perbedaan dan diajarkan untuk saling menghargai, bekerja sama, dan menyelesaikan konflik melalui dialog. Ini adalah laboratorium sosial yang menunjukkan bahwa pluralitas adalah anugerah, bukan ancaman.
Gus Dur menyatakan bahwa “Tradisi pesantren adalah jembatan antara agama dan budaya.” Ini menegaskan bahwa pesantren tidak anti perubahan, selama perubahan tersebut bertujuan untuk menebar rahmat.
Penutup: Reaktualisasi Peran Sosial Pesantren
Untuk mengatasi arus globalisasi yang mengikis nilai lokal dan intoleransi yang mengancam persatuan, pesantren harus ditempatkan sebagai pusat pendidikan nilai dan perubahan sosial. Pesantren yang progresif dan inklusif tidak hanya menjawab tantangan zaman, tetapi juga menawarkan model pendidikan sosial yang membebaskan.
Gus Dur menyatakan, “Kita tidak bisa membangun peradaban dengan permusuhan.” Spirit ini hidup di pesantren. Selama pesantren tetap menjadi ruang toleransi dan inklusi, Indonesia memiliki harapan untuk masa depan yang damai, adil, dan beradab.
Daftar Pustaka
Ni’mah, N., Fitri, F., & Adlan, I. (2024). Internalization of religious moderation values through digital literacy at madrasah. Islamic Review Jurnal Riset Dan Kajian Keislaman, 13(2), 99–110. https://doi.org/10.35878/islamicreview.v13i2.1266
Mansur, M., Hermanto, M., & Maftuhah, M. (2023). PENDIDIKAN MODERAT: PENDEKATAN ISLAM WASATHIYAH DALAM MENANGKAL
INTOLERANSI DAN RADIKALISME. Hikmah Journal of Islamic Studies, 19(2),
Rusmiati, E. T., Alfudholli, M., Shodiqin, A., & Taufiqurokhman, T. (2022). Penguatan Moderasi Beragama di Pesantren untuk Mencegah Tumbuhnya Radikalisme. ABDI MOESTOPO Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 5(2), 203–
Setara Institute. (n.d.-b). RILIS DATA: KONDISI KEBEBASAN BERAGAMA DAN
BERKEYAKINAN 2023. https://setara-institute.org/rilis-data-kondisi-kebebasan- beragama-dan-berkeyakinan-2023/
Dewi, H. P., Yusri, M., & Ridani, R. (2023). PERAN PESANTREN MODERN DALAM MENJAWAB TANTANGAN MODERASI BERAGAMA SAAT INI.
Deleted Journal, 3(1), 29–34. https://doi.org/10.55883/jipkis.v3i1.45
Al-quran kitab toleransi. (n.d.). Google Books. https://books.google.co.id/books?id=gLxmMMWkplwC&printsec=frontcover&hl
=id&source=gbs_vpt_reviews#v=onepage&q&f=false
Penulis: Eni Wahyuliyani, Nasywa Hanni Tsuraya, Sabna Dela Sepbira (Pembimbing MTs Putri – Komplek N)
(Juara Terbaik 2 Lomba Esai Muharraman Yayasan Ali Maksum 1447 H)