Pesantren Hijau: Krapyak Peduli Sampah dan Peran Santri Merawat Lingkungan, Bangsa, hingga Perdamaian Global

“Barang siapa yang tidak peduli terhadap bumi, jangan berharap bumi akan peduli kepadanya.” Pesan sederhana ini sering terdengar di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, namun maknanya melampaui ruang dan waktu. Dalam dunia yang kian terancam oleh krisis lingkungan, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan keagamaan, melainkan pusat peradaban yang memegang kunci harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Tim “Krapyak Peduli Sampah” adalah bukti nyata bagaimana nilai-nilai pesantren dapat menjelma menjadi gerakan konkrit yang tak hanya membangun bangsa, tetapi juga merawat perdamaian dunia.

Pesantren memiliki karakteristik khas: kesederhanaan, kebersamaan, cinta damai, dan cinta lingkungan. Sejak ratusan tahun silam, pesantren telah mengajarkan adab kepada alam sebagai bagian dari iman. Dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW, banyak ajaran tentang pentingnya menjaga bumi, menebar kasih sayang kepada seluruh makhluk, dan menahan diri dari kerusakan. Rasulullah ﷺ adalah teladan agung dalam menjaga lingkungan. Beliau melarang penebangan pohon tanpa alasan, mengajarkan hemat air meski saat berwudhu di sungai, serta memerintahkan agar hewan dan tumbuhan diperlakukan dengan kasih sayang. Suatu ketika, beliau menegur seorang sahabat yang memotong ranting pohon tanpa kebutuhan mendesak. Nabi juga menganjurkan penanaman pohon bahkan di akhir zaman. Kesalehan ekologis ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab RA yang memperkenalkan sistem irigasi dan pengelolaan air demi kesejahteraan rakyat. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” menegaskan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan dunia dan amanah menjaga alam.

Di era modern, tokoh global seperti Prof. Fazlun Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences, menjadi ikon gerakan Islam dan ekologi. Abdul Hakim Murad dan Syekh Ali Jum’ah pun menyerukan bahwa menjaga bumi adalah ibadah. Di Indonesia, KH. Ali Yafie, KH. Sahal Mahfudz, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memperjuangkan ekoteologi Islam yang ramah lingkungan dan penuh toleransi. Mereka menegaskan bahwa lingkungan adalah bagian dari maqashid syariah, yaitu perlindungan jiwa dan kehidupan.

KH Ali Maksum, ulama karismatik dari Krapyak, pernah berkata, “Nek ra gelem ngresiki, ojo ngregeti” kalau tidak mau membersihkan, jangan mengotori. Ini bukan sekadar petuah, tapi filosofi hidup yang menuntun santri dan masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan. Nilai ini kini menjadi denyut nadi gerakan Krapyak Peduli Sampah.

Gerakan ini berangkat dari kegelisahan atas banyaknya sampah yang dihasilkan pondok dan masyarakat sekitar. Dengan prinsip “Sampah Hari Ini Selesai Hari Ini,” para santri, ustadz, dan masyarakat dilibatkan dalam manajemen sampah yang terintegrasi: pemilahan, pengolahan, hingga edukasi lingkungan. Melalui berbagai pendekatan kreatif—baik secara agama, sosial, maupun ekonomi. Krapyak Peduli Sampah telah berhasil menurunkan volume sampah dari dua ton per hari menjadi sekitar seratus kilogram saja.

Inovasi Lingkungan Berbasis Pesantren :

  • Pengolahan Sampah Mandiri: Para santri diajarkan membuat kompos dari sampah organik melalui metode takakura, biopori, dan komposter ember. Sampah anorganik dipilah dan didaur ulang atau disalurkan ke bank
  • Pendidikan Lingkungan: Setiap santri mendapatkan pendidikan tentang lingkungan berbasis kitab kuning dan sains modern. Hal ini memadukan khazanah Islam klasik dengan ilmu pengetahuan kontemporer.
  • Ekonomi Sirkular: Sampah diolah menjadi produk bernilai ekonomi seperti pupuk, kerajinan daur ulang, dan bahan bakar alternatif. Hasilnya mendukung kemandirian ekonomi santri dan masyarakat.
  • Pemberdayaan Masyarakat: Krapyak Peduli Sampah tidak hanya fokus di dalam pesantren, tetapi juga memberdayakan warga sekitar dengan pelatihan, pendampingan, dan pembentukan komunitas peduli lingkungan.

Isu lingkungan bukan sekadar isu lokal, melainkan tantangan global yang berpotensi memicu konflik. Sejarah dunia mencatat beberapa perang dan ketegangan akibat perebutan sumber daya alam:

  • Perang Air: Sungai Nil (Afrika Timur) – Konflik antara Mesir, Sudan, dan Ethiopia atas kontrol aliran Sungai Nil.
  • Perang Minyak dan Gas: Perang Teluk (1990-1991) – Perebutan sumber daya energi di Timur Tengah.
  • Perusakan Hutan dan Suku Asli: Amazon (Brazil) – Perampasan lahan dan eksploitasi hutan yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat
  • Perang Iklim: Krisis Suriah – Krisis iklim yang memperparah kemiskinan, kekeringan, dan menciptakan ketegangan sosial hingga konflik bersenjata.

Konflik-konflik ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan tidak hanya berdampak pada ekosistem tetapi juga memicu ketidakstabilan sosial dan geopolitik. Di sinilah pesantren memiliki peran besar: menanamkan kesadaran ekologis untuk mencegah potensi konflik di masa depan.

Ketika pesantren seperti Krapyak menanamkan nilai cinta lingkungan, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial kepada ribuan santri, mereka sejatinya sedang membangun fondasi bagi perdamaian global. Santri-santri Krapyak yang kelak menjadi pemimpin, guru, dai, atau pebisnis, membawa bekal kesadaran ekologis yang berakar pada ajaran agama. Mereka akan menjadi agen perubahan yang mempromosikan harmoni, anti-kekerasan, dan kepedulian lintas batas.

Lingkungan yang sehat menciptakan masyarakat yang sehat; masyarakat yang sehat menciptakan bangsa yang damai; bangsa yang damai berkontribusi pada dunia yang damai. Pesantren adalah laboratorium nilai-nilai perdamaian yang mampu menjangkau hingga skala global melalui tindakan lokal.

Keberhasilan Krapyak Peduli Sampah telah menginspirasi banyak komunitas lain di Indonesia dan luar negeri. Model pengolahan sampah berbasis pesantren kini mulai diterapkan di berbagai pondok pesantren lain. Kolaborasi dengan pemerintah, LSM, dan dunia akademik memperkuat daya jangkau gerakan ini.

Selain itu, model ini menunjukkan bahwa Islam sejati adalah Islam yang ramah lingkungan, cinta damai, dan peduli terhadap keberlanjutan kehidupan. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bukanlah slogan semata, melainkan prinsip hidup yang terwujud dalam tindakan nyata seperti yang dilakukan di Krapyak.

Krisis lingkungan adalah tantangan besar abad ini. Dalam menghadapi tantangan tersebut, pesantren memiliki peran vital dalam membangun bangsa yang beradab dan menjaga perdamaian dunia. Melalui gerakan Krapyak Peduli Sampah, nilai-nilai luhur pesantren dihidupkan dan diwujudkan dalam aksi nyata.

Dari lorong-lorong pesantren yang sederhana, kita belajar bahwa perubahan besar berawal dari langkah kecil. Dari tangan-tangan santri yang memungut sampah, kita memahami bahwa mencintai bumi adalah bagian dari mencintai Tuhan. Dari Krapyak, semoga lahir bangsa yang hijau, damai, dan memberi rahmat bagi dunia.

Daftar Pustaka

Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.

Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ali Yafie, K.H. (2001). Merambah Jalan Baru dalam Fiqih Lingkungan Hidup.

Jakarta: Yayasan Paramadina.

Andika Muhammad Nuur. (2025). Ḥimāyat al-Arḍ wa Ri‘āyat al-Īmān: Dirāsah Islāmiyyah fī an-Nifāyāt. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum.

Fazlun Khalid. (2002). Islam and the Environment: Ethics and Practice. London: Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences.

Hakim Murad, Abdul. (2005). Green Deen: Towards an Islamic Environmental Ethic. Cambridge Muslim College.

Jum’ah, Ali. (2010). Islam dan Tanggung Jawab Ekologis. Kairo: Dar Al-Ifta Al- Misriyyah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2021).

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta: KLHK.

K.H. Ali Maksum. (1995). Kumpulan Petuah Kyai Ali Maksum Krapyak. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum.

PBB. (2020). The State of the Global Climate 2020. Geneva: World Meteorological Organization.

Sahal Mahfudz, K.H. (2000). Nuansa Fiqih Sosial. Jakarta: LKiS.

United Nations Development Programme (UNDP). (2022). Human Development Report 2022: Uncertain Times, Unsettled Lives. New York: UNDP.

Yusuf Al-Qaradawi.    (2001).    Ri’ayah    Al-Bi’ah    fi    Al-Islam    (Perlindungan Lingkungan dalam Islam). Kairo: Maktabah Wahbah.

Penulis: Andika Muhammad Nuur (Komplek Patmasuri)

(Juara 1 Lomba Esai Muharraman Yayasan Ali Maksum 1447 H)