Siapa yang tidak menggunakan internet di zaman sekarang? Dari anak kecil hingga orang dewasa, dari pelajar hingga pekerja, semuanya menggunakan internet. Sejak bangun tidur sampai kembali ke kasur, kita tidak lepas dari internet.
Nyaris apapun tersedia di internet; materi pelajaran, referensi kuliah, artikel kesehatan, berita bola, trend fashion terkini, dan lain sebagainya. Kita dapat dengan begitu mudahnya mencari informasi yang kita butuhkan, tak terkecuali informasi mengenai Islam atau keislaman.
Penulis mewawancarai Muhammad Syafi’ Alieha atau Savic Ali, Ketua PBNU yang juga merupakan founder Islami.co, mengenai media keislaman di Indonesia saat ini.
Bagaimana kondisi media keislaman di Indonesia sekarang?
Kalau sekarang, ada banyak sekali media keislaman ya. Baik dari kalangan Nahdliyyin, dari temen-temen NU, dari kalangan salafi-salafi yang ultra konservatif, dari kalangan muslim yang politis itu banyak hari ini. Kalau dulu, yang dominan memang media-media salafi yang ultra konservatif. Yang misal perempuan itu harus di rumah, musik haram, dan seterusnya dan seterusnya.
Tetapi sekarang media dari kalangan Nahdliyyin itu juga banyak. Ada NU Online yang media resmi NU. Ada Islami.co yang saya dan teman-teman juga bikin untuk muslim urban. Ada Bincang Syariah, ada Alif.id, ada Iqro, ada Bangkit, ada Harakatuna, ada Arrahim. Jadi relatif imbang.
Berarti kondisi sekarang imbang, belum bisa dikatakan mendominasi?
Saya kira belum bisa dikatakan mendominasi, melainkan imbang. Tetapi jauh lebih baik daripada misal 7 atau 10 tahun yang lalu di mana memang media salafi itu jauh lebih banyak dan jauh lebih mendominasi.
Seberapa jauh media keislaman itu dapat mempengaruhi masyarakat muda perkotaan terutama generasi yang muda? Sebab konsumsi internet itu didominasi masyarakat perkotaan.
Saya kira media keislaman itu sangat mempengaruhi orang-orang urban di perkotaan karena masyarakat urban itu umumnya tidak hidup dalam sebuah situasi yang komunal. Tetapi mereka hidup dalam kebiasaan yang individual sehingga pengetahuan-pengetahuan keislaman itu mereka dapatkan dari mengikuti pengajian-pengajian online dengan menonton Youtube, dengan mengikuti Instagram, page Facebook, ataupun Twitter. Jadi memang media keislaman dan kanal-kanal sosial medianya itu sangat mempengaruhi preferensi muslim perkotaan.
Kalau kita lihat sekarang, banyak sekali muslim perkotaan yang preferensi keagamaannya itu konservatif. Karena apa? Karena mereka memang banyak terpengaruh oleh media-media atau ustadz-ustadz salafi. Gerakan-gerakan hijrah menjadi lebih konservatif dan lebih politis. Karena memang selama bertahun-tahun media-media dan kanal-kanal keislaman yang kuat di Indonesia itu yang salafi dan yang politis itu.
Di kondisi yang seperti ini, di manakah posisi pesantren beserta medianya?
Pesantren tentu saja masih menjadi kekuatan yang sangat signifikan dalam konteks melahirkan intelektual-intelektual muda muslim, ulama-ulama, atau mubaligh-mubaligh. Tentu saja pesantren masih menjadi institusi nomor satu karena memang di pesantren [para santri] mempelajari Islam lebih dalam daripada di online.
Jadi saya kira pesantren tetap tidak tergantikan, tidak bisa digantikan oleh kanal-kanal sosial media seperti youtube atau website-website keislaman. Tetapi memang untuk kalangan awam ke depan saya kira, kanal-kanal online ini bisa jauh lebih berpengaruh daripada pesantren.
Kalau media yang dimiliki pesantren?
Saya belum melihat ada media pesantren yang sangat kuat, karena banyak media pesantren yang itu berita-beritanya terkait internal pesantren yang itu hanya relevan dengan alumni atau dengan santrinya. Kemudian konten-konten keislamannya juga tidak diupdate tiap hari sehingga tidak cukup lengkap. Sementara di dunia online itu kalau media kita itu tidak lengkap, tidak diindeks Google dengan cukup baik sehingga kalau ada orang yang mencari di Google, itu tidak muncul di halaman depan.
Jadi masih ada banyak PR untuk media keislaman. Sampai hari ini saya belum lihat ada media pesantren yang bener-bener udah cukup ideal sebagai media.
Tadi masih ada banyak PR untuk media keislaman. Sekarang sudah banyak media keislaman yang mengambil bidang tertentu seperti Bincang Syariah yang fokus di Fiqih, Alif.id dengan visi Berkeislaman dalam Kebudayaan, Harakatuna yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Apakah masih ada ceruk yang belum digarap oleh media keislaman?
Masih, saya kira masih banyak. Ya urusan Fiqih aja, urusan Fiqih ga cukup dengan NU Online dan Bincang Syariah. Sebagaimana bahwa ga cukup hanya satu dua pesantren untuk mendidik santri yang jumlahnya jutaan di Indonesia. Ga cukup dua tiga lima website untuk dibaca oleh ratusan juta muslim di Indonesia. Jadi tetep bahwa ceruk-ceruk Fiqih aja itu masih butuh tambahan cukup banyak.
Yang penting kuncinya adalah kontennya bener-bener cukup lengkap dan relevan.
Bagaimana arah media keislaman di masa mendatang, khususnya media yang dikelola anak muda atau media yang dimiliki pesantren?
Kalau ke depan, saya kira, Indonesia ini kan mayoritasnya muslim, ada ratusan juta muslim yang tampaknya makin religius, makin peduli. Kita bisa lihat orang-orang muslim yang dulu ga pernah ke masjid, sekarang ke masjid. Yang dulu tidak pakai jilbab, sekarang pakai jilbab. Yang dulu mungkin tidak peduli makan di resto halal atau tidak, sekarang peduli. Artinya ada tren di mana kelas menengah muslim di Indonesia itu makin banyak dan makin kuat. Jadi pada dasarnya, bagi media, kelompok ini perlu dilayani kebutuhannya untuk belajar keagamaan.
Tetapi memang ada tantangan bahwa mengelola media itu tidak mudah; mengupdate konten tiap hari itu tidak mudah; membiayai teknologinya, servernya, honor kontributornya juga tidak kecil. Tantangan-tantangan yang masih dihadapi, sementara bisnis model dari media online itu belum sepenuhnya ketemu.
Jadi itu tantangan-tantangan bagaimana membuat media yang cukup lengkap sehingga memenuhi kebutuhan target pembaca tapi sekaligus punya bisnis model yang membuat dia sustainable. Karena membuat media itu gampang tapi menjamin agar dia sustainable dalam waktu lama, itu memang tantangan yang tidak mudah.
Kalau dari bentuk medianya sendiri yaitu website, media sosial, NU Online punya aplikasi. Apa yang sekiranya perlu dikembangkan?
Saya kira hari ini audio visual jauh lebih powerful, sehingga kanal-kanal Youtube itu jauh lebih relevan untuk generasi hari ini. Generasi hari ini yang dari kecil dia sudah menjadi penonton youtube, lebih enteng untuk mendengarkan youtube ketimbang membaca artikel. Tapi saya kira artikel itu masih sangat dibutuhkan karena kita bisa menulis lebih detail, terkait sumber dan segala macem.
Jadi ya dua hal, baik audio visual maupun tulisan ini sama-sama dibutuhkan. Tetapi kalau melihat tren perilaku pengguna internet ke depan, saya kira audio visual itu kanal-kanal youtube itu jauh lebih relevan. Jadi siapapun yang mau membangun media itu harus membangun kanal youtube.
Pewarta : Yasmeen Mumtaz