Oleh: Supriyadi *)
Sebagian para jemaah haji dari Indonesia kini sudah diberangkatkan menuju Tanah Suci. Memasuki musim ibadah haji, umat Islam seluruh dunia yang mampu secara fisik, psikis, dan materi-finansial berduyun-duyun menuju Makkah al-Mukarromah untuk menunaikan kewajiban sebagai umat Islam, yakni rukun Islam yang kelima.
Ibadah atau ritual haji sebenarnya tidak serta-merta hanya menggugurkan kewajiban seorang Muslim sebagai umat beragama Islam saja. Tidak pula umat Islam hanya berziarah ke tempat sakral secara spiritual dan syari'at, ataupun sekadar melaksanakan ajaran agama, apalagi hanya bermakna tamasya. Di sisi lain, kebermaknaan haji sebenarnya juga terdapat nilai-nilai sosial yang luhur dan mulia.
Ibadah haji itu tidak hanya menghubungkan manusia dengan agama atau Tuhannya saja, melainkan juga manusia dengan manusia yang lainnya. Oleh karena itu, ibadah haji memiliki dua garis penghubung kemanusiaan, yakni garis vertikal dan horizontal. Garis vertikal, ibadah haji dipandang secara normatif, yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Sementara garis horizontal, ibadah haji dipandang dari sisi sosial manusia sebagai makhluk sosial di dunia ini, yakni hubungan di antara manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
Ibadah haji secara normatif merupakan kewajiban seseorang sebagai umat Islam untuk mendapatkan pahala, dan menjalankan perintah agama. Akan tetapi, dipandang dari segi sosial, makna haji tidak mengedepankan normativitas.
Di antara makna sosial haji sebagai nilai-nilai sosial yang menghubungkan antara manusia dan manusia lainnya sebagai makhluk sosial adalah, pertama, penyadaran akan adanya pluralitas umat Islam. Umat Islam hingga sampai saat ini telah tersebar di berbagai negara dan belahan dunia. Mulai dari negara paling Barat hingga paling Timur. Tentunya, di antara umat Islam tersebut sangat memiliki perbedaan dalam keberagamaannya. Mulai dari yang beraliran syi'ah maupun sunnah, orang kulit hitam maupun putih, mazhab yang paling liberal dan mazhab yang paling fundamental, aliran kiri maupun kanan, dan lain sebagainya.
Karena berbagai perbedaan tersebut, umat Islam harus sadar bahwa pluralitas umat Islam itu tidak bisa dihindari. Karena, berbagai hal yang mendasari adanya perbedaan, antara lain, adat-budaya, pemahaman keislaman, tingkat intelektualitas, bahasa, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pluralitas umat Islam tersebut menjadi sebuah realitas yang niscaya ada.
Meski demikian, pluralitas dan multikulturalisme umat Islam tersebut disatukan dengan lafaz "labbaika Allahumma labbaik…" yang diserukan ketika melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian, makna sosial haji yang kedua adalah persatuan dan persamaan.
John L Esposito, salah seorang penafsir Islam yang paling berotoritas di Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Future of Islam memandang ibadah haji; sebagaimana semua Muslim disatukan lima kali sehari saat mereka shalat menghadapkan wajah ke arah Mekkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad, begitu pula setiap tahun lebih dari dua juta umat Muslim dari seluruh dunia berdatangan ke Kota Suci ini untuk menjalankan rukun Islam yang kelima.
Esposito menyadari bahwa pluralitas Islam tersebut disatukan dan mereka tidak merasa berbeda secara spiritual dan sosial. Saat berhaji, pria dan wanita menjalankan ritual bersama. Tidak ada perbedaan gender di tempat tersuci ini. Dengan mengenakan pakaian sederhana yang melambangkan kesucian, persatuan, dan kesetaraan, mereka menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa besar keagamaan. (John L Esposito)
Malcom X juga menyatakan bahwa; ada duapuluh ribu jamaah haji dari seluruh dunia. Mereka terdiri dari berbagai warna kulit, dari si pirang bermata biru sampai si hitam dari Afrika. Namun, mereka semua mengikuti ritual yang sama, memperlihatkan semangat kebersamaan dan pesaudaraan yang tidak akan pernah terjadi di antara kulit putih dan bukan kulit putih (selain pada ibadah haji). Malcom X menyatakan seperti itu karena ketika itu, di Amerika, tempatnya berdomisili terjadi diskriminasi ras antara kulit hitam dan kulit putih. Sementara diskriminasi tersebut tidak terjadi ketika ibadah haji.
Refleksi
Di sisi lain, dunia Islam sekarang sedang terjadi berbagai konflik. Gejolak reformasi dan revolusi di berbagai negara Islam (Timur Tengah), konflik yang terjadi di dunia Islam antara Sunni dan Syi'i, konflik umat baik di bidang ekonomi, sosial, dan politik, serta berbagai hal penistaan Islam telah memecah-belah umat Islam di dunia. Sebenarnya, ibadah haji bisa dijadikan refleksi persatuan dan persamaan umat Islam seluruh dunia.
Ibadah haji yang ketika pelaksanaannya terkumpul umat Islam dari berbagai belahan dunia, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam. Dalam ritual ibadah haji, seluruh jamaah haji yang beragam tersebut melakukan ibadah yang sama. Mereka tidak saling memusuhi antara yang satu dan yang lainnya. Begitu pula yang diharapkan terjadi pada dunia Islam akhir-akhir ini karena Islam sebenarnya adalah agama kasih sayang.
Dewasa ini, perkembangan zaman telah membawa Islam menjadi multiwajah. Meski demikian, melihat ritual atau manasik haji, multiwajah Islam tidaklah menjadi hal yang rumit untuk dihadapi menuju persatuan, toleransi, persamaan, dan rasa saling kasih sayang. Dengan demikian, ibadah haji merupakan refleksi nilai-nilai sosial yang luhur dan mulia bagi umat Islam di seluruh dunia. Alangkah indahnya jika umat Islam di dunia ini menjadi simbol perdamaian dunia, mengedepankan sikap kasih sayang dan menafikan kebrutalan.
*) Penulis adalah pembimbing di asrama Sakan Thullab Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum.
tulisan yang sama di muat di Suara Karya Online (Jumat, 21 Oktober 2011)