Abstrak:
Peran budaya pesantren dalam membangun karakter bangsa dan menciptakan perdamaian dunia merupakan hal yang menjadi perhatian saat ini karena banyaknya kasus yang berkaitan dengan pesantren dan lulusan pesantren, menjadikan pesantren mendapat banyak kritikan dari masyarakat tetapi pada kenyataanya pesantren merupakan lembaga pendidikan agama islam yang menekankan nilai-nilai akhlak serta norma yang baik kepada para santrinya. Nilai akhlak yang diajarkan di pesantren seperti toleransi, keadilan, dan kerjasama, oleh karena itu, pesantren merupakan pilar dalam memperkuat identitas nasional dan mendorong perdamaian di tengah keberagaman masyarakat. Pada dunia pesantren pendidikan karakter bukanlah hal yang baru. Dari pendidikan karakter di bidang keilmuan, hingga di bidang sosial akhlak sehari-hari. Di era modern ini teknologi sudah banyak berkembang menjadi salah satu tantangan dalam dunia pesantren menjadikan pesantren tetap berkembang dan eksis di era modern saat ini dengan mempertahankan budaya pesantren yang telah lama melekat. Dengan merangkum dari beberapa literatur terkait, penulis juga menyoroti bagaimana budaya pesantren dapat menjadi pelaku utama dalam membangun karakter bangsa dan perdamaian global. Dengan begitu hasil temuan ini dapat menjadi referensi dan rujukan kepada masyarakat dalam perwujudan karakter bangsa yang baik.
Kata kunci: Budaya pesantren, santri
Pendahuluan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis asrama pendidikan islam tradisional yang mana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu agama dibawah bimbingan seorang kyai (Herman, 2013). Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki ciri dan karakter sendiri dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Beberapa bagian yang ada dalam pesantren antara lain; tempat tinggal santri yang disebut pondok, masjid sebagai tempat belajar dan berkumpulnya para santri, kitab-kitab klasik sebagai bahan untuk belajar santri, Kyai sebagai pemimpin dari pondok pesantren dan para santri itu sendiri (Dauliyah, 2015). Dari sejarahnya, pesantren memiliki usia yang sama tua dengan perkembangan Islam di Indonesia. Syaikh Maulana Malik Ibrahim sering dikaitkan sebagai pendiri pertama dari sistem pendidikan pesantren di tanah air. Awal berdirinya pesantren bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam sehingga pesantren memainkan peran penting dalam perkembangan masyarakat Islam (Herman, 2013).
Pesantren selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama juga berfungsi sebagai lembaga pengembangan sosial masyarakat karena banyak pesantren yang berkembang di tengah masyarakat saat ini baik itu pondok pesantren modern maupun pondok pesantren salafiyah. Pada lingkungan masyarakat saat ini banyak tantangan kemajuan zaman yang dihadapi termasuk pada akulturasi budaya.
Di era modern, sangat banyak budaya yang masuk ke Indonesia, hal ini banyak menarik perhatian masyarakat karena dengan adanya kemajuan zaman budaya lokal semakin tergeser dengan masuknya budaya-budaya baru dari luar. Adanya fakta tersebut membuat pesantren memiliki tuntutan sebagai pilar utama dalam menjaga dan melestarikan tradisi budaya lokal. Dengan pembelajaran di pesantren santri dapat mempertahankan tradisi budaya lokal dengan tetap mengikuti ajaran agama Islam yang diajarkan di pesantren. Budaya lokal yang melekat pada pesantren yaitu yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari atau akhlak yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW.
Pembahasan
Pada abad ke-12/13 M perkembangan dan penyebaran dakwah islam semakin meningkat dan tersebar di beberapa daerah, seiring dengan perkembangan tersebut pusat-pusat pendidikan Islam semakin tersebar luas di Indonesia terutama pada daerah Sumatra dan Jawa. Model pendidikan pesantren di Jawa dimulai oleh Wali Songo. Seorang tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren di tanah Jawa yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Beliau mendirikan pesantren di Kembang Kuning Surabaya yang kemudian dipindah ke Ampel Denta (Surabaya). Misi keagamaan dan pendidikan sunan Ampel mencapai kesuksesan sehingga beliau dikenal oleh masyarakat Majapahit yang kemudian bermunculan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh santri dan putra beliau. (Fadli, 2012)
Pendidikan islam yang dipelopori para walisongo menunjukkan pengimplementasian yang sangat sederhana tanpa mengganggu adanya tradisi dan budaya lokal, serta mudah ditangkap oleh masyarakat awam karena realistis dan menyatu dengan kehidupan masyarakat (mas’ud, 2002).
Dari sejarah di atas dapat dijelaskan bahwa budaya pesantren dan budaya lokal dapat berdampingan dan di akulturasikan dengan tetap memperhatikan norma serta dasar Al-qur’an dan hadist. Menurut Mas’ud (2002) terdapat beberapa karakteristik budaya pesantren antara lain;
- Modelling
Modelling diartikan dengan mengikuti seorang tokoh pemimpin yang dalam hal ini merujuk pada seorang Kyai sebagai pemimpin sebuah pesantren, yang tentunya tetap mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Pada aspek Modelling tidak terbatas dalam satu aspek kehidupan, hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan model kepemimpinan di berbagai zaman.
- Cultural Resistance
Budaya pesantren adalah kebudayaan yang telah berkembang selama berabad-abad, yaitu dengan mempertahankan nilai-nilai budaya sekaligus tetap berpegang teguh pada ajaran dasar islam. Cultural resistance juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Karena subjek yang disampaikan melalui hidayah dan berkah seorang kyai. Dengan isi materi kitab kuning yang menyediakan keberlangsungan tradisi yang benar, dengan tetap menjaga ilmu-ilmu agama dari masa klasik hingga masa pertengahan. Materi yang diajarkan pesantren tidak hanya memberi akses kepada santri untuk merujuk pada masa keemasan peradaban islam masalalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara langsung.
Pesantren menjadi pusat proses dialog antara tradisi lokal dan ajaran islam, melalui proses akulturasi, asimilasi, dan adaptasi tradisi lokal yang berbasis animism dan nilai-nilai islam telah menghasilkan tradisi baru Islam Indonesia. Tradisi ini selalu menekankan sikap harmonis dalam strategi pendidikan dan pengembangannya (Sholeh, 2007).
Dalam konteks budaya, pesantren juga merupakan lembaga budaya yang memadukan antara tradisi zawiyah yaitu tradisi kegiatan pembelajaran pada sudut ruangan yang dipimpin oleh seorang syaikh yang berkembang di arab dengan tradisi padepokan yang terkenal di Nusantara sebelum islam masuk. Perpaduan ini menjadi perpaduan nyata dari tradisi zawiyah yang mengandung ajaran islam dengan struktur dan metode padepokan yang telah mengakar di masyarakat. Selain itu, sikap pengakuan pesantren terhadap budaya lokal di satukan ke dalam ajaran dan budaya islam, sehingga pesantren dan Islam bisa berkembang secara cepat di nusantara (Sholeh, 2007).
- Budaya Keilmuan yang Tinggi
Rujukan ilmu di dunia pesantren cukup lengkap yang mencakup inti ajaran islam yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadist serta dari ketetapan para ulama. Belajar di pesantren tidak menuntut batasan usia, sehingga tidak heran di setiap pesantren selalu diadakan pengajian yang di buka untuk umum seperti yang dilakukan di Pondok Pesantren Krapyak yang setiap sehabis subuh di bulan Ramadhan diadakan kuliah subuh yang dibuka untuk umum warga sekitar. Rata-rata yang datang juga sudah berusia lanjut. Selain kuliah subuh juga terdapat rutinan Jum’at Legi yang juga dihadiri oleh jamaah yang mayoritas berusia lanjut. Selain itu ada juga sebutan Rihlah yaitu perjalanan untuk mencari ilmu di pesantren lain, adanya tradisi Rihlah ini di dorong oleh dua faktor yaitu, keragaman disiplin ilmu oleh setiap Kyai di pesantren serta semangat santri untuk menguasai cabang ilmu pengetahuan lainnya.
Menurut penelitian dari Ahmad Baso (2012) yaitu ilmu yang berkembang di pesantren tidak terbatas pada ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai ilmu lain lain seperti;
- Ilmu Ushul (Tauhid) dan ilmu kalam
- Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (mencakup hukum, undang-undang, dan filsafat hukum)
- Ilmu Tafsir dan Ilmu Hadist
- Ilmu Tasawuf dan Ilmu Etika (Akhlaq)
- Ilmu Bahasa dan tata Bahasa (yang mencakup ilmu nahwu, Sharaf, dan pengetahuan Bahasa-bahasa Nusantara)
- Ilmu Balaghah dan Ilmu Mantiq
- Ilmu Pertanian
- Ilmu kedokteran dan pengobatan
- Ilmu Falak dan Astronomi
- Matematika dan Aljabar
- Ilmu Teknik
- Ilmu alam
- Ilmu sejarah
- Ilmu sosial (yang mencakup ilmu politik, tata negara, dan ilmu ekonomi)
Sedangkan dalam aspek kebangsaan, Pesantren berperan sebagai pusat pendidikan Nasional, karena tidak hanya mengajarkan santri dan warga negara lainnya di bidang ekonomi dan politik, tetapi juga pada bidang kebudayaan dan pengetahuan. (Baso, 2012)
Dalam ketiga karakter di atas telah dijelaskan bagaimana ciri budaya pesantren yang berkembang hingga sekarang. Budaya pesantren berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam membangun karakter bangsa banyak pondok pesantren yang secara bertahap berkembang dengan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman hal ini terjadi pada pondok pesantren modern seperti pengadaan alat elektronik guna membantu belajar para santri, penyesuaian dan pengakulturasian sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan nasional guna dapat menyelaraskan dengan sistem yang berkembang sekarang.
Dalam perkembangan budaya pesantren santri merupakan subjek utama dalam perkembangannya. Santri yang tidak lepas dari kesehariannya di pondok pesantren menjadikan santri. Pada pesantren telah diajarkan sejak lama tentang pendidikan karakter agar santri memiliki karakter yang dapat diandalkan, beberapa karakter tersebut diantaranya;
- Karakter keilmuan
Karakter keilmuan yang dimiliki santri dengan belajar berbagai kitab klasik dengan sumber ilmu yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadist yaitu hanya semata-mata ilmu yang dimiliki dalam pengamalan agama sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT. Mengingat saat ini pesantren sudah banyak mengakulturasi budaya pesantren tradisional dengan perkembangan budaya modern, santri dapat banyak mencari informasi ilmu yang nantinya tetap dikaji kembali dengan dasar ilmu yang di dapat dari kitab-kitab sehingga santri saat ini tidak hanya dapat belajar agama tetapi juga dapat mengikuti perkembangan zaman dengan mempelajari pengetahuan umum agar semua seimbang tidak hanya akhirat tetapi juga dunia yang di dapat. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yaitu;
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ باِلعِلْمِ
yang artinya: “Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia maka hendaknya menguasai ilmu, barangsiapa menginginkan akhirat hendaknya ia menguasai ilmu, dan barangsiapa menginginkan keduanya maka hendaklah ia menguasai ilmu” (HR. Ahmad)
- Karakter santri bidang akhlak
Pada aspek karakter santri di bidak akhlak atau perilaku, hal ini merupakan hal sangat penting dalam dunia pesantren pesantren karena akhlak atau perilaku merupakan pembelajaran inti yang diterapkan di pesantren. Budaya karakter santri dalam bidang akhlak sangat melekat pada santri, seperti;
a. Akhlak kepada Allah SWT
Penerapan akhlak kepada Allah SWT yaitu dengan rajin beribadah dan melakukan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Pada aspek ibadah ini sangat penting bagi pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa yang di dalamnya mengandung makna bahwa masing-masing warga negara memiliki hak untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama tersebut. Dalam sila satu telah dijelaskan soal hak beragama tetapi masih saja banyak oknum-oknum yang mengaku sebagai pemuka agama tetapi membuat ajaran agama sendiri dan membawa kesesatan. Adanya pesantren dan santri dapat menjadi jembatan bagi masyarakat terutama masyarakat muslim untuk bisa belajar dasar agama agar ibadahnya berkualitas dengan mengetahui ilmunya.
b. Akhlak kepada sesama
Pada aspek ini hal yang menjadi perhatian yaitu bagaimana cara mengenali diri sendiri dan orang lain dalam rangka beramal sholeh. Dalam hal ini menurut Yusuf (2003) bahwa santri diajarkan untuk memiliki akhlak yang baik terhadap diri sendiri seperti, sabar, tawakkal, ridha, syukur, tawadhu’, dan lain sebagainya. Selain itu santri juga dituntut untuk memiliki akhlak terpuji terhadap orangtua, baik ketika masih hidup maupun setelah mereka wafat. Selain itu, santri diharapkan memiliki akhlak mulia terhadap orang lain arau masyarakat dengan berinteraksi sopan santun, tidak menyakiti hati orang lain apalagi, sampai melukai satu sama lain, serta senang meminta dan memberi maaf.
Dengan melihat fenomena saat ini dimana banyak generasi muda yang kurang akhlak terhadap sesama hingga terjadi pembullyan, hingga pembunuhan karena sakit hati. Penting adanya penanaman akhlak yang baik kepada sesama agar tercipta perdamaian diantara sesama manusia dan tidak ada lagi keresahan tentang perilaku buruk seseorang.
Pada aspek ini penerapan pada budaya pesantren antara lain; makan bersama dengan nampan atau tempeh, tradisi ro’an atau bersih-bersih dan lain sebagainya.
c. Akhlak kepada lingkungan
Hal ini ditanamkan kepada santri untuk mengenali dan menyayangi serta memanfaatkannya untuk kemaslahatan. (Yusuf, 2003). Dalam hal ini jika dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini yaitu sampah, kerusakan alam dan menyakiti binatang. Padahal sudah sangat jelas tertuang pada QS: Al-A’raf ayat 56 yang berbunyi:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik”.
Pada hadist tersebut telah dijelaskan larangan untuk merusak lingkungan dan menyakiti binatang, tetapi tetap saja masih banyak masyarakat yang belum sadar dengan akibat dari perbuatan yang dilakukan untuk itu pesantren memiliki tugas sebagai pion dari pembentukan akhlak dengan membiasakan santrinya untuk menjaga lingkungan.
Budaya pesantren pada hal ini di terapkan pada tradisi yang di sebut ro’an atau kerja bakti ketika hari libur jum’at atau pada saat sebelum liburan lebaran. Kegiatan ro’an ini selain bertujuan untuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar pesantren, juga bertujuan untuk melatih santri untuk bekerja sama satu sama lain untuk membersihkan lingkungan. Selain para santri, ro’an juga dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan warga sekitar ketika pembangunan atau perbaikan bangunan pesantren.
- Karakter santri di bidang sosial
Menurut Arifin (2014) santri adalah bagian dari masyarakat yang memerlukan interaksi serta komunikasi sosial. Pesantren merupakan sebuah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari realitas masyarakat secara objektif agar bisa menghadapi berbagai tantangan zaman. Oleh karena itu proses pendidikan di pesantren juga bertujuan untuk membentuk karakter sosial seperti tolong menolong, rukun dan damai, serta penuh tanggung jawab.
Saat ini sudah banyak pesantren yang letaknya berdampingan dengan masyarakat umum dan masyarakat sangat menghargai dan menerima kehadiran pesantren di tengah-tengah mereka. Banyak ahli sosial dan pendidikan mengakui bahwa pesantren berperan penting sebagai benteng pengawal moral, khususnya berkaitan dengan menjaga tradisi pesantren yang mulia dengan nilai keteladanan dan nilai agama yang diajarkan di pesantren. Peran ini menempatkan pesantren sebagai lembaga yang berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat secara umum khususnya dalam pendidikan agama masyarakat (HM. Amin Haedari, 2004).
Dalam penerapan budaya pesantren pada aspek sosial, terdapat berbagai karakter budaya yang muncul menurut Haedari (2004)
- sopan santun dengan tidak masuk ke rumah orang tanpa izin
- Mengucapkan salam
- Berbicara jujur dan benar
- Tidak memanggil orang dengan menyebut nama bapaknya
- memaafkan atas kesalahan orang lain; dan lain sebagainya.
Dari karakter santri dan implementasi budaya diatas dapat dilihat jika pesantren merupakan pion utama dalam pembentukan karakter bangsa dengan karakter pendidikan pesantren yang menurut Rofik (2012) memiliki 5 khas yaitu; jiwa keikhlasan; jika kesederhanaan; jiwa kemandirian; jiwa ukhwah islamiyah; dan jiwa bebas dengan tetap memperhatikan dasar akhlak yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Hambatan dan tantangan perkembangan budaya pesantren dalam membangun karakter bangsa dan perdamaian dunia menurut penelitian Iing (2021) tantangan yang dihadapi pesantren dengan karakter santri baik pesantren modern dan pesantren salaf (tradisional) yaitu;
- Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Pada pondok pesantren tradisional mungkin ini menjadi tantangan yang banyak terjadi karena basic dari pesantren tradisional atau salafiyah yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional yang mana pesantren salaf umumnya terletak pada perdesaan dan pendidikan berpusat pada seorang Kyai. Pada pondok pesantren modern tantangan ini menjadi tantangan selalu menjadi permasalahan karena semakin berkembangnya ilmu dan teknologi mengharuskan santri modern memiliki banyak kemampuan guna menyikapi kemajuan zaman.
- Stigma Masyarakat
Ini terjadi pada pondok modern maupun pondok salaf. Pada pondok modern menghadapi tantangan stigma lulusan negatif dari masyarakat karena pada pondok modern perkembangan ilmu dan teknologi sangat berkembang pesat menyebabkan nilai karakter santri yang islami tercampur dengan kemajuan zaman dengan akhlak non-islami. Selain itu, dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi pada pondok pesantren modern terdapat lembaga-lembaga ekonomi seperti, pusat laundry sehingga karakter mandiri dalam santri semakin terkikis karena adanya fasilitas tersebut.
Pada pondok pesantren salaf stigma yang di hadapi yaitu stigma masyarakat tentang pondok salaf sebagai tempat pengkaderan islam radikal karena pesantren salaf mempunyai tuntutan yang sama dengan pesantren modern yaitu mengikuti perkembangan zaman dengan mengakulturasi dengan tradisi yang sudah yang ada. Stigma ini harus dijawab dengan menampilkan pemahaman islam yang moderat dan sopan santun.
Dalam berbagai tantangan tersebut perlu penekanan pada setiap santri bahwa terhadap budaya dan tradisi santri yang melekat sejak lama harus tetap dijaga meski menghadapi kemajuan zaman dan teknologi.
Kesimpulan
Karakter pesantren dapat menjadi pion utama dalam pembentukan karakter bangsa dan menjaga perdamaian dunia. Dengan implementasi dan akulturasi yang tepat di masyarakat, pesantren dapat menjadi karakter utama dalam menjaga karakter bangsa Indonesia dan menjaga perdamaian dunia dengan implementasi karakter-karakter budaya pesantren yang dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi yang ada.
Penerapan ini bisa dilakukan ketika santri berada di masyarakat atau lulusan pesantren yang sudah terjun ke masyarakat. Dengan menyesuaikan kemajuan pengetahuan dan teknologi, budaya pesantren bisa tetap semakin eksis di ruang lingkup dunia dan dapat menghadapi tantangan globalisasi di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. (2014). Budaya pesantren dalam membangun karakter santri. AL-Qodiri: Jurnal Pendidikan, sosial, dan keagamaan .
Baso, A. (2012). Pesantren Studies 2a; Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum . Pustaka Afid .
Dauliyah, H. P. (2015). Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional indonesia . Jakarta: Kencana.
Fadli, A. (2012). Pesantren: Sejarah dan perkembangannya . El-Hikam: Jurnal Pendidikan dan Kajian keislaman .
Herman, D. (2013). Sejarah Pesantren Di Indonesia. Jurnal Al-Ta’dib , 146-157.
Amin Haedari, d. (2004). Masa depan Pesantren dalam tantangan modernitas dan tantangan komplesitas global. Jakarta: IRD Press.
Iing. (2021). Problem dan Tantangan Lembaga Pendidikan. Bestari, 176.
Lisnawati, D. (2020). PROBLEMATIKA DAN TANTANGAN SANTRI DI ERA. Tsamratul Fikri .
Mas’ud, A. (2002). Sejarah dan budaya pesantren . In Dinamika pesantren dan madrasah (pp. 3-24). semarang : Pustaka pelajar Yogyakarta.
Rafik, A. (2012). Pembaruan Pesantren Respons Terhadap Tuntutan Transformasi Global. Jember : STAIN Jember Press.
Sholeh, B. (2007). Budaya damai dalam komunitas pesantren. Jakarta: LP3ES.
Yusuf, A. A. (2003). Studi agama Islam . Bandung: CV Pustaka Setia.
Penulis: Rizky Agustina Tamami – Komplek Ndalem Dongkelan
(Juara 3 Lomba Esai Muharraman Yayasan Ali Maksum 1447 H)