Hidup Seperti Karet: Sebuah Refelksi Moral Santri dalam Mengembara di Dunia Yang Tidak Bisa Ditebak

Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, santri sering kali dihadapkan pada dilema antara menjaga nilai-nilai tradisional pesantren dengan tuntutan zaman yang terus berubah. Tidak jarang santri dipersepsikan sebagai sosok yang kurang mengikuti perkembangan dunia luar, dianggap tertinggal, atau bahkan terisolasi dari realitas sosial kontemporer. Padahal, keterbatasan akses bukan berarti keterbatasan kapasitas. Justru dalam keterbatasan itulah muncul nilai-nilai kelenturan yang mendalam. Salah satu refleksi yang relevan adalah filosofi “hidup seperti karet”. Filosofi ini menggambarkan bahwa hidup, khususnya bagi santri, memerlukan kelenturan dalam berpikir dan bertindak tanpa kehilangan jati diri. Seperti karet yang elastis namun memiliki batas tertentu dalam regangannya, santri pun harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mengeksplorasi wawasan baru, namun tetap teguh pada nilai dan prinsip yang diwariskan dalam tradisi pesantren.

Fenomena santri yang sering kali dianggap kurang mengikuti perkembangan zaman menimbulkan pertanyaan kritis mengenai bagaimana mereka dapat tetap relevan tanpa kehilangan jati diri. Di satu sisi, tuntutan zaman mengharuskan setiap individu, termasuk santri, untuk terus beradaptasi dengan perubahan sosial, teknologi, dan pemikiran global. Namun di sisi lain, santri juga terikat pada nilai-nilai tradisional yang mengakar kuat dalam ajaran agama dan budaya pesantren. Ketegangan antara modernitas dan tradisi ini menimbulkan persoalan: bagaimana santri dapat bersikap lentur dalam menghadapi dinamika zaman tanpa terputus dari akar nilai-nilainya? Apakah filosofi “hidup seperti karet” dapat menjadi pendekatan yang efektif untuk menjawab tantangan tersebut? Dan sejauh mana batas kelenturan itu dapat ditarik agar tidak merusak prinsip dasar yang harus dijaga oleh seorang santri? Pertanyaan- pertanyaan inilah yang menjadi dasar dalam pembahasan esai ini.

Dalam tradisi pesantren, terdapat prinsip tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), dan tawadhu’ (rendah hati) yang semuanya menekankan pentingnya fleksibilitas dalam bersikap (Ashoumi & AH, 2019). Kelenturan ini tidak berarti ketidakjelasan prinsip, melainkan kecakapan dalam beradaptasi dengan berbagai kondisi sambil tetap berpijak pada nilai-nilai dasar Islam. Teori resilien dan adaptif dalam psikologi juga menunjukkan bahwa individu yang lentur dalam menghadapi tantangan memiliki kemungkinan lebih besar untuk bertahan dan berkembang (Waugh et al., 2011).

Karet, sebagai metafora, merepresentasikan dua nilai utama: elastisitas (kemampuan menyesuaikan diri) dan batas tarik (kesadaran akan kapasitas diri). Dalam konteks santri, ini bisa berarti kemampuan untuk belajar hal baru, berinteraksi dengan lingkungan luar, mengikuti perkembangan teknologi atau isu global, namun tetap dalam koridor akidah dan akhlak (Maragustam & Nur Aini, 2019).

Santri masa kini tidak hanya dituntut untuk fasih dalam ilmu agama, tetapi juga melek terhadap isu sosial, politik, dan teknologi. Namun, banyak dari mereka masih menghadapi keterbatasan, baik dari segi akses informasi, fasilitas digital, maupun dukungan sosial. Hal ini menyebabkan munculnya stereotip bahwa santri tidak up-to- date (Heri Kuswara, 2021). Padahal, keterbatasan tersebut bukanlah halangan mutlak. Filosofi “hidup seperti karet” menjadi pendekatan yang bijak bagi santri dalam menjawab tantangan ini. Kelenturan berpikir memungkinkan santri membuka diri terhadap pengetahuan baru, mengikuti perkembangan zaman, dan berkontribusi dalam ruang publik. Misalnya, santri yang mulai aktif dalam media sosial untuk dakwah digital, atau santri yang menulis opini dan terlibat dalam forum akademik nasional (Putri, 2022).

Namun seperti karet, kelenturan harus disertai kesadaran akan batas. Ketika karet ditarik terlalu jauh, ia bisa putus. Demikian pula santri yang terlalu terbuka tanpa fondasi kuat bisa kehilangan arah dan jati diri. Oleh karena itu, eksplorasi harus dilakukan dengan kesadaran, pendampingan, dan kontrol nilai.

Batasan bukanlah bentuk keterbatasan, melainkan pagar pelindung. Santri yang mengejar ilmu dunia tetap harus menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pusat gravitasi (Kusumaningrum et al., 2025). Contohnya, saat menelaah teori-teori modern atau isu- isu global, santri tetap harus mampu memfilternya dengan pandangan keislaman yang rahmatan lil ‘alamin.

Pesantren sebenarnya telah menanamkan nilai itu sejak awal, melalui adab, sanad keilmuan, dan pendekatan holistik. Oleh karena itu, menjadi santri “karet” berarti menjadi pribadi yang tidak kaku seperti kayu, tapi juga tidak lembek seperti kapas. Teguh tapi fleksibel, kuat namun bisa beradaptasi.

Filosofi “hidup seperti karet” adalah refleksi mendalam tentang bagaimana santri dapat bertahan dan berkembang di tengah kompleksitas zaman. Ia mengajarkan pentingnya kelenturan, eksplorasi, dan ketahanan, namun juga menegaskan pentingnya kesadaran akan batasan agar tidak keluar dari jalur nilai yang hakiki.

Rekomendasinya, pesantren perlu lebih aktif membekali santri dengan keterampilan abad ke-21 seperti literasi digital, komunikasi publik, dan pemikiran kritis, namun tetap membingkainya dalam nilai-nilai Islam. Santri pun harus sadar bahwa mereka adalah agen perubahan, bukan korban perubahan. Dan untuk menjadi agen itu, mereka perlu menjadi seperti karet: lentur, kuat, dan tahu batas.

Daftar Pustaka

Ashoumi, H., & AH, N. K. (2019). Pola Pikir Santri Pondok Pesantren Al Muhajirin 3 Tambakberas Jombang Terhadap Ajaran Ahlusunnah Wal Jamaâ€TMah (Aswaja) Tentang Tawasut Tawazun Dan Tasamuh. DINAMIKA : Jurnal Kajian Pendidikan          Dan                                   Keislaman,      4(1),                            55–74. https://doi.org/10.32764/dinamika.v4i01.364

Heri Kuswara. (2021, November 15). Santri dan Kesenjangan Digital : Tantangan Vs Peluang. Jabar.Nu.or.Id.

Kusumaningrum, H., Rathariwibowo, K., Suryani, S., Azahra, S., Syarif Hidayatullah Jakarta, U., & Sultan Maulana Hasanuddin Banten, U. (2025). Resiliensi Pesantren melalui Integrasi Nilai-nilai Islam dalam Manajemen Modern di Pondok Pesantren. Intelektual: Jurnal Pendidikan Dan Studi Keislaman, 15(1), 23–38. https://doi.org/10.33367/ji.v15i1.6870

Maragustam, & Nur Aini, L. (2019). Pengembangan Input Santri Baru Berbasis Adaptasi-Karantina (Studi Analisis Santri Baru di Pesantren Yanaabii’ul Qur’an Kudus). Jurnal Pendidikan Agama Islam, 16(2), 203–222. https://doi.org/10.14421/jpai.2019.162-05

Putri, F. (2022). Analisis Isi Terhadap Potret Kehidupan Santri di Pesantren Dalam Akun Instagram “Alasantri.” Jurnal Selasar KPI : Referensi Media Komunikasi Dan Dakwah, 2(1). https://doi.org/10.33507/selasar.v2i1.477

Waugh, C. E., Thompson, R. J., & Gotlib, I. H. (2011). Flexible emotional responsiveness in trait resilience. Emotion, 11(5), 1059–1067. https://doi.org/10.1037/a0021786

Penulis: Azhar Gusti Anantakupa (Asrama Tahfidz)

(Juara 2 Lomba Esai Muharraman Yayasan Ali Maksum 1447 H)