Dari Krapyak ke Dunia: Ketika Nilai-Nilai Pesantren Menjadi Bahasa Perdamaian Global

Seiring derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi, dunia justru mengalami paradoks moral yang mencemaskan. Keterhubungan digital tidak selalu menghadirkan kedamaian, bahkan sering kali memunculkan konflik. Polarisasi politik global semakin tajam yang ditandai oleh perang terbuka invasi Rusia ke Ukraina, agresi Israel di Palestina, hingga konflik-konflik berkepanjangan di Yaman, Suriah, dan Sudan. Tidak hanya kekerasan fisik, dunia juga dirundung oleh konflik ideologis yang memperuncing batas antara “kita” dan “mereka”, antara “Timur” dan “Barat”, antara “Islam” dan “Sekuler”. Kondisi ini diperparah oleh meningkatnya intoleransi agama dan krisis kemanusiaan global. Kekerasan atas nama agama, polarisasi politik, hoaks yang menyebar lebih cepat daripada kebenaran, hingga tumbuhnya budaya saling menghakimi di ruang digital adalah gejala bahwa peradaban global tengah mengalami krisis moral.

Data global menunjukkan bahwa krisis ini bukan sekadar narasi, tapi kenyataan. Freedom House (2024) mencatat lebih dari 80 negara mengalami kemunduran demokrasi dan kebebasan sipil akibat konflik berbasis agama dan ras. WHO (2023) melaporkan bahwa 1 dari 8 orang di dunia mengalami depresi dan kecemasan. Di negara-negara maju, angka bunuh diri di kalangan muda meningkat 20% dalam satu dekade terakhir (OECD, 2023). Bahkan di Indonesia, lebih dari 11.000 hoaks yang sebagian besar bertema politik dan agama terjadi sepanjang 2022 (Kominfo, 2022). Laporan Pew Research Center (2023) mencatat peningkatan drastis dalam pembatasan kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap komunitas minoritas di berbagai belahan dunia. Islam dalam banyak konteks masih sering diasosiasikan dengan ekstremisme dan kekerasan akibat dominasi narasi negatif pasca peristiwa 9/11 dan konflik Timur Tengah. Dunia tampak tumbuh cepat secara teknologi, namun pincang dalam spiritualitas dan kemanusiaan.

Situasi ini menyebabkan manusia semakin kehilangan arah. Kebutuhan narasi tandingan yang mampu menunjukkan wajah Islam yang damai, dialogis, dan membumi menjadi penting. Maka, hadirnya pesantren dapat menjadi oase spiritual dan moral yang melegakan. Pesantren dalam kesederhanaannya menyimpan kekayaan nilai yang membentuk pribadi-pribadi berakhlak, memiliki kekuatan untuk menyatukan bangsa, bahkan merajut perdamaian dunia. Nilai-nilai luhur yang tumbuh di pesantren sejatinya berakar dari satu sumber utama, yaitu ilmu. Ilmu yang tidak sembarangan dan transmisi keilmuannya bersambung secara otentik kepada para ulama dari generasi ke generasi atau yang dikenal dengan istilah sanad. Dalam tradisi Islam, sanad berfungsi menjamin otentisitas teks dan pemahaman (Azra, 2012) juga menjadi jalur transmisi nilai dan akhlak.

Orang yang berilmu dalam perspektif pesantren diasumsikan memiliki sifat- sifat terpuji seperti toleran, sabar, rendah hati, dan tidak mudah menghakimi. Inilah yang disebut sebagai buah dari ilmu yang benar. Seperti dinyatakan oleh al-Ghazali, ilmu adalah ibadah paling mulia dan jalan yang membawa kepada ketakwaan karena dapat membersihkan hati dan menuntun kepada amal (Al-Ghazali, 2005). Sebagaimana hadis:

من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم ومن أرادهما فعليه بالعلم

Barangsiapa menginginkan dunia, maka dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka dengan ilmu.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, no. 1763).

Pertanyaan yang muncul ketika krisis moral terjadi adalah “Mengapa nilai- nilai dari pesantren belum benar-benar menjadi denyut nadi kehidupan berbangsa?” “Bukankah sejak dulu pesantren mengajarkan keikhlasan, kesederhanaan, tanggung jawab sosial, dan penghargaan terhadap perbedaan?” Padahal di luar sana yang justru menjamur adalah budaya angkuh, egoisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Pesantren mungkin telah lama memupuk benih-benih kebaikan, tetapi buahnya belum sepenuhnya hadir di ranah publik.

Santri pada dasarnya dididik untuk mengejar akhirat. Namun, selalu diorientasikan bahwa dunia adalah ladang bagi akhirat. Maka merawat dunia adalah bagian dari persiapan menuju akhirat. Oleh karena itu, ilmu menjadi modal utama untuk menyeimbangkan kehidupan spiritual dan sosial. Kitab dan metode pengajaran yang digunakan pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga adab. Kitab-kitab tersebut menjadi bukti bahwa tradisi keilmuan pesantren membawa nilai-nilai universal (Bruinessen, 2020; Zarkasyi, 2005) yang siap berkontribusi di ranah global.

Hal menarik yang selalu dirasakan ketika memasuki lingkungan pesantren adalah suasana kesederhanaan, kedamaian, dan kekhidmatan yang sulit ditemukan di tempat lain. Santri-santri di pesantren tentu belajar agama, mengaji, mendalami kitab-kitab klasik, dan seterusnya. Lebih dari itu, pesantren adalah tempat di mana nilai-nilai hidup diwariskan secara turun-temurun. Pesantren bukan sekadar institusi pendidikan agama. Pesantren adalah rumah pembinaan karakter yang hidup dan menghidupkan. Nilai-nilai seperti ikhlas, tawadhu’, ukhuwah, tasamuh, dan khidmah terus diajarkan dan dijalani dalam keseharian santri. Di ruang-ruang kecil yang sering tak tersorot media, terjadi proses mendalam yang membentuk pribadi-pribadi tahan banting, rendah hati, dan berpikiran terbuka. Pesantren adalah tempat di mana akhlak bukan teori, tapi tradisi.

Selama ini, pesantren sering diposisikan sebagai institusi tradisional (Achidsti, 2015). Kadang dianggap ketinggalan zaman atau tidak cukup “modern.” Bahkan, struktur sosial di pesantren disebut cenderung feodal karena hubungan antara kiai dan santri dianggap begitu hierarkis yang seolah tak menyisakan ruang kritik. Fenomena yang sungguh tidak ditemui di Pesantren Krapyak Yogyakarta (Pesantren Krapyak). Namun, daripada merespons kritik secara defensif, pesantren justru memiliki peluang besar untuk merefleksi diri guna berkontribusi nyata terhadap pembangunan bangsa dan perdamaian dunia.

Mari bahas Pesantren Krapyak, tepatnya di Yayasan Ali Maksum yang didirikan oleh KH Ali Maksum (Kiai Ali). Kiai Ali merupakan seorang ulama besar yang juga pernah menjadi Rais ‘Aam PBNU. Pesantren Krapyak adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai pesantren tidak hanya hidup dalam tradisi keilmuan, tetapi juga dalam cara memandang dunia. Kitab kuning dibaca dengan penuh ketekunan, bahkan diskusi tentang realitas sosial dan dunia juga menjadi bagian dari napas kehidupan santri. Pesantren Krapyak menjadi salah satu representasi pesantren yang menjaga sanad keilmuan. Kiai Ali dikenal memiliki jalur sanad kuat, termasuk dalam ilmu bahasa arab, tafsir Al-Qur’an, fikih, dan tasawuf. Menurut Ihsan Ali Fauzi (2015), keberadaan pesantren seperti Krapyak menunjukkan integrasi antara ilmu, spiritualitas, dan keterbukaan sosial.

Apa yang membedakan Pesantren Krapyak dari institusi lain? Jika masing- masing pesantren memiliki cari khas dan warnanya sendiri maka dapat dikatakan bahwa Pesantren Krapyak adalah pesantren yang penuh warna. Keistimewaan Pesantren Krapyak terletak pada keterbukaan dalam model pendidikan. Kiai Ali tidak pernah memaksa semua santri menjadi ulama. Kiai Ali melihat potensi setiap murid secara bijaksana, sejalan dengan pandangan para mursyid dalam tradisi tasawuf yang mengenali “setelan ruhani” tiap murid (Nasr, 1981). Santri ada yang diarahkan untuk mendalami ilmu agama, ada pula yang diberi ruang menekuni ilmu umum, termasuk bahkan metode pengobatan tradisional (suwuk) dengan tanpa dianggap kurang nilai spiritualnya. Buah pendidikan Kiai Ali dapat dilihat dari tokoh-tokoh alumni Pesantren Krapyak seperti Gus Dur, Gus Mus, KH Said Aqil Siradj, dan KH Yahya Cholil Staquf yang telah menjadi tokoh nasional dan termasuk diakui dalam jajaran pemikir Muslim dunia. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh:

المتعدي أفضل من القاصر

Amal yang berdampak luas lebih utama daripada amal yang terbatas.” (Ibn Nujaim, al-Ashbah wa al-Nazha’ir, 1999)

Demikian, nilai yang dikembangkan di Pesantren Krapyak adalah nilai yang berdampak luas karena ilmu yang menumbuhkan cinta damai, terbuka terhadap realitas global yang tetap berpijak pada akar tradisi Islam. Santri Krapyak tidak sekadar diajarkan hafalan, tetapi diajak merenung. Tidak hanya diajak taat, juga diajak memahami, dan belajar bahwa agama bukan alat untuk mendominasi, melainkan sumber kedamaian. Menariknya, nilai-nilai seperti ini ternyata selaras dengan kebutuhan global hari ini. Dunia sedang kelelahan dengan tingkat perdamaian global yang terus menurun. Fakta lain juga menyebut lebih dari 100 negara yang kini terlibat dalam konflik terbuka politik, agama, maupun etnis. Situasi seperti ini, tidak cukup membutuhkan diplomasi formal. Dunia butuh pendekatan yang lebih halus, yaitu pendekatan nilai; yang sebenarnya sudah lama hidup di pesantren.

Indonesia sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia memiliki posisi strategis dalam peta geopolitik global yang memungkinkan untuk menjadi model bagi dunia tentang kemungkinan bersatunya Islam dan demokrasi. Berbagai forum yang diikuti seperti G20, ASEAN, dan PBB diusung melalui pendekatan diplomasi yang mempromosikan toleransi, dialog antar agama, dan resolusi damai atas konflik. Kebijakan luar negeri “Bebas Aktif” Indonesia pun kini semakin menekankan peran pesantren yang dapat menjadi bagian dari aktor diplomaci rakyat.

Indonesia sendiri punya posisi istimewa dengan kekuatan lebih dari 39.000 pesantren aktif dan 5 juta santri (EMIS Kemenag RI, 2023). Jumlah ini mencerminkan sebuah angka yang luar biasa dengan diiringi sejak afirmasi dan rekognisi negara terhadap pesantren semakin meningkat; karena terlacak juga semangat pendirian pesantren. Tumbuhnya fenomena ini disebut menjadi “pesantren proyek”, yakni tumbuhnya lembaga-lembaga yang menggunakan label pesantren tetapi didirikan lebih karena insentif administratif dan akses terhadap program pemerintah atau donor asing ketimbang motivasi dakwah ataupun visi pendidikan Islam. Hal ini berisiko melemahkan substansi nilai pesantren yang dalam hal ini adalah bagi keteladanan moral. Namun demikian, tetap banyak pesantren yang tidak terjebak dalam proyekisasi dan menjadi potensi soft power yang luar biasa.

Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai ruang pengajaran, tapi juga sebagai laboratorium nilai. Alumni-alumni pesantren mungkin banyak dari latar belakang yang sederhana, tetapi mampu membawa warisan nilai yang mendalam. Hal lain yang patut dicatat adalah pesantren tidak kaku terhadap perubahan. Tentu saja, tantangan tetap terjadi dan kritik terhadap pesantren tetap perlu didengarkan. Namun, respons terhadap kritik sebaiknya bukan defensif, melainkan reflektif.

Pesantren yang mau berubah justru menunjukkan kedewasaan nilai. Bukankah salah satu ciri santri adalah tawadhu’, ingin terus belajar dan membuka diri? Tentu tradisi yang lahir di Pesantren Krapyak sangat relevan untuk ditawarkan ke panggung dunia. Bahkan, tercermin saat dunia menyelenggarakan forum-forum internasional seperti G20, Indonesia melalui Nahdlatul Ulama menginisiasi Religion of Twenty (R20); sebuah forum keagamaan global yang mencoba menempatkan agama sebagai kekuatan positif dalam menyelesaikan masalah dunia. R20 bukan diplomasi berbasis senjata atau ekonomi, tetapi diplomasi moral dengan nilai-nilai pesantren yang menjadi fondasinya.

Akhirnya, mungkin perlu membayangkan ulang peran pesantren. Pesantren bukan sekadar tempat mengaji. Pesantren adalah ruang yang membentuk manusia yang berilmu, bermoral, dan siap hidup dalam dunia yang kompleks. Di Krapyak, keterbukaan terhadap teknologi dan isu-isu global tumbuh tanpa kehilangan akar. Ini penting. Sebab pesantren yang hanya menjaga tradisi tanpa membaca zaman akan tertinggal. Pesantren yang bisa menanamkan nilai sambil menyiapkan santrinya untuk dunia luar itulah yang akan menjadi kekuatan strategis bangsa. Dari lorong-lorong sunyi Pesantren Krapyak, nilai-nilai terus mengalir pelan sampai ke meja diplomasi dunia.

Dunia mungkin tidak sedang kekurangan kecanggihan teknologi atau kekuatan ekonomi, tapi jelas sedang defisit nilai. Saat inilah, Pesantren Krapyak hadir membawa sesuatu yang sangat langka seperti keseimbangan antara kedalaman spiritual dan kearifan sosial yang tidak gaduh dan tidak mencari panggung, tetapi diam-diam membentuk manusia. Sedangkan, dari manusialah segala perubahan dimulai.

Pesantren tidak perlu menjadi seperti lembaga internasional untuk berkontribusi dalam isu global. Pesantren cukup menjadi dirinya sendiri yang konsisten menanamkan nilai, membangun akhlak, dan menyiapkan generasi yang berpikir kritis sekaligus berjiwa damai. Itulah kontribusi penting dalam geopolitik hari ini. Kekuatan sejati tidak selalu berbentuk senjata atau modal, tetapi seringkali datang dari nilai yang melekat dalam cara hidup. Ketika santri Krapyak melangkah keluar membawa pesan damai, membawa ajaran rahmatan lil ‘alamin ke ruang publik dunia, maka pada saat itulah pesantren bukan lagi sekadar fenomena lokal. Pesantren telah menjelma bahasa perdamaian global yang dibutuhkan oleh semua bangsa, agama, dan manusia.

Daftar Pustaka

Achidsti, Safya Aulia. (2015). Kiai dan Pembangunan Institusi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol. 1–4). Beirut: Dar al-Fikr.

Azra, A. (2012). Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Jakarta: Prenadamedia.

Bruinessen, M. van. (2022). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.

Freedom    House.    (2024).    Freedom    in    the    World    Report.    Diakses    dari https://freedomhouse.org.

Ihsan Ali-Fauzi, et al. (2015). Kiai dan Demokrasi: Narasi dari Dunia Pesantren.

Jakarta: PUSAD Paramadina.

Ibn Nujaim, Zayn al-Din. (1999). Al-Ashbah wa al-Nazha’ir. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Kominfo RI. (2022). Laporan Penanganan Konten Hoaks. Diakses dari https://kominfo.go.id.

Kementerian Agama RI. (2023). Data Statistik Pesantren dan Santri Indonesia.

Diakses dari https://emis.kemenag.go.id.

Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the Sacred. New York: Crossroad.

OECD. (2023). Youth Suicide Rates Report. Diakses dari https://www.oecd.org. The Royal Islamic Strategic Studies Centre. (2024). The Muslim 500: The World’s

500            Most            Influential            Muslims.            Diakses            dari https://themuslim500.com/download/

World Health Organization. (2023). World Mental Health Report. Diakses dari https://www.who.int/publications.

Zarkasyi, H. (2005). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: Logos.

Penulis: Rosyida Indah Mawarni, Maila Ariya Fainanita, Nailal Azmi (Pembimbing MA Putri – Komplek N)

(Juara Terbaik 1 Lomba Esai Muharraman Yayasan Ali Maksum 1447 H)