Generasi Strawberry Adalah Akibat dari Sikap Ghuluw

KRAPYAK.org – Istilah “Generasi Strawberry” pasti bukanlah sesuatu yang terdengar asing di telinga masyarakat saat ini. Secara harfiah, generasi ini diartikan sebagai generasi yang lemah. Strawberry (Stroberi) sendiri dikenal sebagai buah yang terlihat menyegarkan dengan kemerahannya tetapi ketika dimakan akan terasa masam. Istilah ini diberikan kepada generasi anak-anak saat ini, di dalam diri mereka tertanam sifat merasa kurang, merasa mudah mendapatkan apapun, dan merasa bahwa rintangan hidup yang mereka rasakan sudah amatlah berat. Demikian hal ini dapat terjadi karena salah satu faktornya ialah adanya kesalahan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Tanpa mereka sadari, merekalah yang menciptakan generasi ini bagi keturunan mereka. 

Permasalahan sosial ini masuk dalam salah satu hadits yang terdapat pada kitab جوامع الكلم yang berbunyi: اياكم والغلوفي الدين. Hadits ini dijelaskan oleh Ibu Nyai Maya Fitria pada bandongan Program Ramadan, beliau mengartikan “berhati-hatilah dari keterlaluan (berlebihan) di dalam agama”. Sebagai orang tua, mendidik keturunan tentu termasuk menjalankan ibadah yang luar biasa mulia. Peran orang tua banyak dimuliakan oleh Allah dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Namun, fenomena saat ini banyak dari mereka yang bersikap الغلو (berlebihan). Mereka membiarkan anaknya tidak merasakan kesulitan, tidak mengenalkan kehidupan sederhana dengan alibi tidak ingin keturunan mereka merasakan sengsara yang sama. 

Jika dilihat dari luarnya, anak mereka akan terlihat kaya dengan segala kebutuhan yang mencukupi. Padahal di sisi lain mereka juga akan terlihat memiliki jiwa yang ‘miskin’. Pada akhirnya, kebiasaan yang terbentuk dalam diri mereka akan merujuk pada pola hidup yang  mengikuti keinginan standar manusia lainnya. Ibu Nyai Maya Fitria mengatakan, menjadi orang tua yang baik adalah orang tua yang pelit (sederhana) kepada anak keturunannya. Sejatinya, sederhana itu bukan ‘pelit’ atau ‘irit’ tapi justru melatih mental anak dalam menghadapi kesulitan hidup. Ketika mendidik, Orang tua perlu membiarkan anaknya merasa rekoso daripada dijor-jorkan akan segala hal yang mengakibatkan anak itu lemah dan tidak tahan banting. 

Mengubah pola hidup dan pemikiran memanglah sulit. Namun, jika kebiasaan ini dilanjutkan maka akan merugikan keturunan-keturunan berikutnya. Lebih dalam lagi, kebiasaan jorjoran dengan anak akan membuat kekayaan yang mereka siapkan, kemudian diberikan secara cuma-cuma, pasti akan habis dalam waktu singkat. Hartanya akan lenyap begitu saja di dunia tanpa memberikan bekal akhirat. Terakhir, jika sikap jorjoran tersebut membuat mereka tidak membiasakan hidup sederhana dengan kebiasaan bershadaqah. Maka Perlu diingat, bahwa serugi-ruginya manusia adalah manusia yang menghilangkan akhiratnya untuk flexing dunia.

Pewarta: Aufadhiya (XII Bahasa B) | Editor: Clara Satrianti | Dikutip dari Pengajian Ramadhan Ibu Nyai Maya Fitria Kitab Jawami’ul Kalim