Khutbah Iftitah KH Miftachul Akhyar: Nahdlatul Ulama Berarti Kebangkitan Para Ulama

KRAPYAK.org – KH Miftachul Akhyar, Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sejak tahun 2018, yakni pimpinan tertinggi dalam organisasi Nahdlatul Ulama berkesempatan menyampaikan khutbah iftitah dalam pembukaan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama dan Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta pada Senin (29/1).

Dalam khutbahnya, KH Miftachul Akhyar menyampaikan bahwa konferensi besar ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa bagi Nahdlatul Ulama, karena PBNU telah mengadakan tiga kali konferensi besar dalam satu periode, hal ini menandakan adanya hal-hal penting dan perlu diselesaikan sebagai bentuk perkhidmatan yang prima sebagaimana amanah yang telah ditanggungkan kepada PBNU.

KH Miftachul Akhyar menyampaikan bahwasannya agama Allah itu digambarkan dengan kalimatullah yang manakala ditulis dengan tinta-tinta lautan yang ada di planet bumi ini maka akan kering, dan tentunya kalimat-kalimat itu belum selesai tertuliskan walaupun ditambahkan dengan lautan-lautan tinta dari planet manapun, untuk sebagai tinta menuliskan kalimatullah, tentu belum selesai. Banyak para ulama terdahulu menginginkan memaknai Islam secara benar, secara utuh, namun usia tidak menjangkau. Kesempatan tidak bisa terpenuhi.

Selanjutnya, KH Miftachul Akhyar mengajak para nahdliyin untuk dapat memahami makna Nahdlatul Ulama. Menurut beliau, secara harfiah Nahdlatul Ulama adalah kebangkitan para ulama. Para ulama harus bangkit, bangkit yang terus menerus tanpa putus, bukan bangkit yang kemudian tidur lagi dan bangkit kembali. Karena pada saat ini pemahaman tentang Nahdlatul Ulama dapat dikatakan hampir punah. Jika diibaratkan dalam ukuran logam emas mungkin sudah satu karat, yang awalnya 24 karat sudah menipis menjadi satu karat dalam memahami Nahdlatul Ulama. Menurut versi beliau, Nahdlatul Ulama adalah wujud al-muroqobah. Yang dimaksud muroqobah ini adalah kewaspadaan, apa yang dianggap besar dan punya nilai maka harus kita besarkan dan beri nilai.

Nahdlatul Ulama diharapkan dapat menjadi murtajim (penerjemah). Menerjemahkan dakwah Islam dengan benar. Dakwah yang merangkul bukan memukul, dakwah yang membina bukan menghina, dakwah yang menyayangi bukan menyaingi, dan dakwah-dakwah yang simpatik. Karena kita memahami Islam masih sebesar kuku hitam ini sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’i; dia selalu melihat, membaca, merasakan detak jantung yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, maslahat apa yang sebenarnya ingin mereka terima. Terlebih di saat-saat kita mudah salah paham. Bahkan, bukan lagi sekedar salah paham, akan tetapi pahamnya yang salah.

Oleh karena itu, isma’uu ati’uu kepada ulama sangat dipesankan oleh Rasulullah SAW. Karena dalam sebuah organisasi Jam’iyyah yang mardhiyyah ini, anugerah Allah yang sampai saat ini tetap eksis bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia bahkan terbesar dunia dan akhirat. Ini adalah sebuah nikmat yang besar bagi para pengurus Nahdlatul Ulama. Tentu semua itu ada pertanggungjawabannya, jika tidak paham atau tidak mengerti lebih baik bertemu dengan para ulama, karena ada ruang untuk bertabayyun. Kita cari yang terbaik dan jangan kita tinggalkan yang namanya at-tabayyun (klarifikasi), dan tak lupa sami’na wa atho’na.

Akhir kata, beliau menyampaikan harapan diselenggarakannya kongres di Pondok Pesantren Al-Munawwir ini semoga Allah memberikan anugerah yang berlipat ganda, kesuksesan, mendatangkan barokah untuk hidup kita, barokah jam’iyyah dan barokah untuk Indonesia.

Pewarta: Qonita Khoirunnisa | Foto: Almunawwir TV