KRAPYAK.org – Sudah ketiga kalinya, Halaqah Fiqih Peradaban diadakan di Krapyak. Dua di antaranya merupakan acara yang istimewa. Acara pertama adalah pembukaan semua acara, dan acara yang ketiga ini merupakan rangkaian dari Harlah 101 Tahun Nahdlatul Ulama.
Pemilihan Krapyak pun mudah dimaklumi, karena kiai kita, Mbah Ali Maksum merupakan salah satu Rais Aam, pimpinan tertinggi NU. Selain itu, Ketum PBNU sekarang, Gus Yahya juga alumni Krapyak.
Pemaparan KH. Afifuddin Muhajir (Kiai Afif) di acara halaqah kemarin, (29/1), sebagai pembicara terakhir, Kiai Afif mengajak kita kembali ‘membumi’ dan melihat pada tradisi keilmuan kita, terutama ilmu ushul fiqh, setelah pemaparan oleh pembicara sebelumnya yang membahas tentang isu-isu geopolitik internasional.
Idealisme dan Realisme Islam
Kiai Afif membuka pembahasan mengenai relasi aktivitas dan tindakan masyarakat yang tidak bisa lepas dari keagamaan. Fakta ini bisa terlihat sangat mudah di Indonesia dan mayoritas masyarakat Dunia Timur.
Semua aktivitas didasari dengan agama, penerimaan adanya Tuhan sangat mudah di Indonesia. Bahkan, sangat sulit bagi masyarakat Indonesia membayangkan ketiadaan Tuhan di kehidupannya. Hal ini yang membedakan kita dengan Dunia Barat yang mempunyai masa lalu traumatis akan agama di era Dark Age mereka.
Islam, termasuk salah satu agama yang masuk, diterima, dan dipilih oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat kita ‘membutuhkan’ agama, dan Islam pun masuk dan mengakomodir kebutuhan itu.
Fiqih, sebagai salah satu ujung tombak dan perwujudan dari ‘penampilan’ Islam, sangat perlu memperhatikan kebutuhan ini, tidak lain adalah agar Islam senantiasa diterima di Indonesia. Dan, fiqih yang mempertahankan idealisme dan mengakui realisme merupakan watak dari Islam. Lebih jauh, Kiai Afif menyatakan bahwa idealisme dan realisme merupakan watak Islam
Idealisme fiqih bisa dilihat pada landasan fiqih sendiri yang berasal dari wahyu yang diturunkan untuk dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia itu sendiri.
Sementara sisi realisme fiqh nampak pada objeknya, berupa tindakan manusia (af’al al’mukallaf) yang tidak bisa diharapkan bentuk idealnya, yang tiap tindakannya selalu ada sisi maslahat dan madlaratnya.
Sebagai contoh, para kiai NU awal mulanya menerima Pancasila dengan terpaksa, karena mereka masih menginginkan konsep pemerintahan yang bisa menegakkan syariat Islam sepenuhnya. Akhirnya, para kiai menerima Pancasila ini sebagai bentuk realisme atas kondisi dan keadaan.
Semakin berjalannya waktu, pada akhirnya, para kiai menikmati konsep Pancasila ini. Lebih jauh, para kiai mencoba untuk mempertahankan dan memperkuatnya dengan dalil syariat sebagai validasinya. Penerimaan yang berakhir dengan kenikmatan ini tetap didasari atas maslahat yang dibawa oleh Pancasila melebihi sisi madlaratnya.
Selain itu, memang, di dalam dalil-dalil nash tidak ada petunjuk yang sharih (jelas) atas bentuk negara menurut Islam. Ajaran Islam mencukupkan diri dalam merumuskan nilai-nilai yang harus ada dalam negara, yang di antaranya adanya tawasuth, i’tidal, tawazun, musawa, dan ukhuwah.
Bagi para kiai, selama nilai-nilai tersebut ditemukan dalam suatu bentuk negara, negara tersebut sudah bisa dianggap sebagai daulah islamiyyah. Dan, NKRI selama ini dinilai mampu untuk mengupayakan nilai-nilai tersebut, meski belum bisa ideal, namun cukup realistis.
Fiqih Peradaban Sebagai Bentuk Tajdid NU
Kehadiran gagasan Fiqh Peradaban oleh PBNU merupakan salah satu upaya untuk mengawal dan menunjukkan nilai-nilai di atas. Pemilihan ‘fiqih’ sebagai salah satu istilah ini adalah dalam rangka mengingatkan kembali posisi fiqih sebagai salah satu solusi kehidupan masyarakat.
Bagi yang sering mengikuti Halaqah Fiqih Peradaban, mungkin terbesit pertanyaan, mengapa dalam acara halaqah, topik yang dibahas sebagian besar merupakan bab fiqih siyasah, padahal pembahasan fiqh tidak hanya seputar siyasah?
Jawabannya mudah, topik tersebut dipilih karena, bagi PBNU, pembahasan topik ini yang paling mendesak untuk didiskusikan. Mengingat, beberapa tahun sebelumnya, kalangan islamis menyuarakan ketidaksetujuan pada bentuk negara, termasuk Pancasila.
Pertimbangan lain adalah keamanan negara adalah kebutuhan primer bagi manusia. Ketika negara sudah aman, masyarakat bisa dengan mudah menjalankan agamanya. Jadi, bisa saja, setelah topik fiqh siyasah sudah diterima masyarakat secara luas, topik-topiknya akan meluas ke bab-bab fiqih lainnya.
Bagi Kiai Afif, NU perlu melakukan tajdid, dan realisasinya berupa gagasan Fiqih Peradaban ini. Pemaknaan tajdid bagi Kiai Afif cukup menarik, yakni mengembalikan NU sebagaimana tujuan awalnya bersamaan dengan penyesuaian atas kondisi NU sekarang.
Sebenarnya gagasan Fiqih Peradaban tidaklah benar-benar baru. Gagasan serupa pernah digagas oleh Gus Dur dalam Pribumisasi Islam-nya, yang berupaya agar Islam diterima oleh masyarakat.
Mirip dengan hal itu, Kiai Sahal dalam Fiqih Sosial-nya lebih spesifik dalam mengupayakan fiqih tidak hanya agar diterima masyarakat, namun juga sebagai solusi atas problematika umat.
Semua gagasan ini, jika mau jujur, semuanya bermula di pesantren kita, yakni ketika Muktamar Krapyak tahun 1989. Peran Mbah Ali tentu saja sangat sentral dalam mengawal muktamar beserta hasil keputusan-keputusannya.
Dalam pengantar buku Atlas Walisongo, Kiai Said Aqil, menyebutkan tiga jenis fiqih yang diterapkan oleh para kiai, yakni fiqhul dakwah, fiqhul ahkam, dan fiqhul hikmah.
Fiqh Peradaban ini masuk dalam kategori terakhir, yakni fiqhul hikmah, yang merupakan bentuk ajaran Islam yang bisa diterima semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, namun juga kalangan bangsawan dan kalangan rohaniawan dalam agama lain.
Kiai Afif sangat apik dalam menutup Halaqah Fiqih Peradaban kemarin. Diawali oleh Gus Yahya yang membahas agenda-agenda peradaban NU, H. M. Cholil yang mengenalkan dan mempromosikannya ke Barat, Robert W Hefner yang menerjemahkan Fiqih Peradaban ke sisi inklusivitasnya, lalu Kiai Afif-lah yang mengingatkan kaidah fiqih dan ushulnya.
Pewarta: Agil Muhammad | Foto: Mustarih Amar