Krapyak.org – Ahad, 19 November 2023, Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum telah menggelar acara berupa Seminar Literasi Digital dengan tema “Antara Kreasi dan Haluan Ahlussunnah wal Jama’ah di Ruang Publik Digital”. Acara tersebut cukup menarik antusiasme para santri maupun pelajar untuk turut serta meramaikan kegiatan.
Di antara tamu undangan yang sekaligus menjadi pemateri dalam acara tersebut adalah Ning Khilma Anis, yang telah masyhur sebagai novelis dari buku berjudul Hati Suhita yang juga telah difilmkan dan berhasil rilis pada 25 Mei 2023 kemarin dengan judul yang sama. Menariknya lagi, Ning Khilma juga telah mengonfirmasi bahwa film tersebut juga akan hadir dalam bentuk serial dengan kurang lebih berjumlah 18 episode.
Sebagai pemateri dalam acara tersebut, Ning Khilma berpendapat bahwa menjadi santri itu jangan hanya belajar di dalam pesantren saja. Tetapi juga harus belajar di luar pesantren, seperti belajar jurnalistik dan lain-lain. Setidaknya ada empat hal yang perlu dimiliki santri di era literasi digital, yaitu:
1) Kreatif, santri harus memiliki pemikiran yang cemerlang dan tidak hanya terpaku pada satu cara saja,
2) Inovatif, santri harus memilik pandangan yang jauh ke masa depan,
3) Kolaboratif, santri harus mampu menciptakan relasi seluas-luasnya dan dapat bekerja sama dengan berbagai macam pihak, dan
4) Adaptif, santri harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya.
Dengan empat hal tersebut, diharapkan para santri dapat menghadapi kemajuan era digital yang berkembang dengan begitu pesatnya.
Menurutnya, literasi digital merupakan suatu bentuk mengonsumsi dan memproduksi budaya, serta menyerap energi positif dan memperkenalkannya kepada masyarakat dengan lebih positif. Literasi tidak hanya terbatas pada buku-buku atau bacaan lainnya, tetapi juga berkaitan dengan “sastra cemetha” (realitas). Dalam hal ini, Ning Khilma ingin menyampaikan bahwa tidak cukup hanya dengan membaca teks saja, melainkan harus menyesuaikan dengan konteks yang ada.
Mengapa harus berliterasi? Karena menjadi seorang santri itu harus menjadi sumur sinubo (sumur yang sering dikunjungi), atau sumber ilmu, ibarat telaga di tengah padang pasir yang tandus. Maka, sudah menjadi sebuah keharusan bagi para santri untuk memperkaya literatur mereka supaya dapat menjadi tauladan yang baik di tengah masyarakat. Secara tidak langsung, Ning Khilma mengisyaratkan bahwa seorang santri diharapkan dapat melahirkan karya-karya yang kelak akan menjadikannya sebagai yang seorang yang layak menjadi panutan.
Mengapa harus berkarya? Menurut Ning Khilma, seorang santri harus memiliki prinsip klungsu klungsu waton udhu, artinya adalah berpartisipasi walaupun sedikit. “Setidaknya, memiliki karya walaupun sedikit, yang penting sudah menyumbang. Daripada tenggelam dalam angan-angan yang besar,” begitu tegasnya.
Sebelum menutup materi, Ning Khilma mengingatkan kepada para hadirin bahwa sebelum berkarya jangan lupa untuk ber-tawasul kepada guru-guru kita serta siapa saja yang telah memberikan kontribusinya dalam proses kita dalam membuat suatu karya. Ia juga menceritakan proses saat ia memulai karirnya sebagai novelis, mulai dari mendapatkan banyak ejekan dari beberapa orang yang mengenalnya, hingga bercerita tentang susahnya proses dalam pembuatan film Hati Suhita.
Yang terakhir, sebagai penutup. Ia tak lupa pula menghimbau bahwa seorang santri setidaknya memiliki minimal satu tokoh idola, yang memiliki literatur-literatur yang telah diterbitkan kemudian membacanya. Karena hal tersebut akan mampu membawa pengaruh yang baik serta keunikan tersendiri terhadap gaya dan metode kepenulisan baginya.
Salam Literasi. Dan Selamat Berkarya!
Pewarta: Adrian Mahesa Anom | Foto: Galih Aditama